Jika film Critical Eleven membuat saya mewek sambil baper sepanjang film, Film Ziarah tidak membuat saya menangis sepanjang film. Justru ketika film selesai, sepanjang perjalanan pulang saya mewek. Film ini sukses membuat saya terluka. Terluka atas kesetiaan seorang perempuan.
Pencarian mbah Sri dimulai. Tanpa pamit kepada cucunya, Prapto, Mbah Sri memulai pencarian makam suaminya seorang diri. Perjalanan Mbah Sri dimulai dari naik bis lalu menyusuri pelosok bukit, lembah, gunung, dan daerah-daerah gersang di Gunung Kidul dan Wonosari. Perjalanan itu hanya berbekal potongan-potongan informasi yang kabur karena berupa informasi dari satu orang ke orang lainnya. Kemiripan nama dan kisah sebagai pejuang juga membuat perjalanan ini menjadi lebih rumit karena sering salah orang.
Prapto, cucu Mbah Sri, kelabakan ketika mengetahui Mbah Sri pergi tanpa pamit. Berbekal informasi yang juga tidak lengkap, Prapto turut mencari keberadaan Mbah Sri. Meski akhirnya ketemu, Mbah Sri tetap saja melanjutkan pencarian makam suaminya seorang diri tanpa pamit kepada Prapto. Di sela-sela pencarian mereka, ada dialog-dialog dengan penduduk sekitar tentang kisah-kisah mereka.
Dari info yang saya baca, film Ziarah memang dibuat dengan biaya dan peralatan yang minim. Aktor film juga diberi kebebasan untuk tidak terpaku pada skenario yang sudah dibuat. Bahkan ada adegan yang tidak ada di skenario yang dimodifikasi ketika mengetahui ada informasi tambahan ketika proses shooting. Film ini memang lebih banyak merekrut orang biasa untuk menjadi aktor. Bahkan, sang aktor utama, Mbah Ponco Sutiyem, film Ziarah merupakan film pertamanya. Mbah Ponco Sutiyem sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal akting.
Film Ziarah merupakan film ‘sunyi’ yang mengedepankan ekspresi pemain dan latar untuk bercerita banyak. Dialog-dialog juga penuh dengan filosofi yang mendalam. Menurut saya, film ini khas jawa khususnya khas Jogja. Barangkali ini disebabkan juga karena seluruh kru film berasal dari Jogja.
Pencarian Mbah Sri akhirnya berakhir dengan dramatis. Penonton, termasuk saya, dibuat terkejut oleh akhir yang tidak diduga. Saya sengaja tidak menceritakan secara detail bagaimana akhir film ini. Saya terluka melihat kesetiaan, perjalanan, serta pencarian Mbah Sri yang berakhir dengan luka. Saya semakin terluka ketika Mbah Sri, dengan kesetiaan dan rasa cinta pada suaminya, memilih pasrah dan berdamai dengan luka itu.
Catatan :
- Produksi : Purbanegara Films dengan bantuan Limaenam Films, Lotus Cinema, Hide Project Films, Super 8mm Studio, dan Goodwork
- Jenis Film : Drama
- Penghargaan : Film Terbaik Pilihan Juri – ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, Skenario Terbaik – ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, Film Terbaik – Salamindanaw Film Festival 2016 di Filipina, Skenario Terbaik versi Majalah Tempo 2016
- Produser, Sutradara, dan Penulis Skenario : BW Purba Negar
- Pemain : Ponco Sutiyem (Mbah Sri), Rukman Rosadi (Prapto)
- Tanggal Rilis : 18 Mei 2017
12 Comments
Waaaaa penasaran endingnya aku mba Ria 🙁
berdamai dengan luka, aku banget ini hahahha #curcol
Iya mbak. Aku sengaja gk cerita. Suatu saat kalo mbak lihat filmnya biar rasa gregetnya tetep ada. Hehehe
Film yang menarik mbak, apalagi menjelang Ramadhan
iya mas. film nya jadi mengingatkan tentang orang yang kita sayang
Kmren cuma bisa baca banner e di mandala Malang Plaza. Penasaran juga sm ceritanya.
Sayang timming e belum pas krn gak bisa ninggal bayek 😀
iya mbak. Cuma bentar di bioskop. tgl 18-22 Mei. Itupun aku lihat film ini di hari terakhir.
Pengen nonton. Penasaran. 😀
Selamat penasaraaan mbaaak
nggak sempat nonton ini. hahahahaha. di grup kritikus film kemarin pada debat soal tema kesetiaannya mbak. lha wong mbah sri dapat cem2an lagi, mana setianya
Tapi emang akhirnya kan nggantung. Gak ada penjelasan bahwa dia beneran dapet cem-ceman lagi. Hehehe
mbak ini bikin nangis filmny? huffthhhh hufthh huftthh
iyaaa..bikin sediiih