Hari minggu yang aneh.
Jumat kemarin aku baru saja menamatkan novel teenlit terjemahan tentang koki remaja keturunan Yunani-Italia yang memiliki restoran keluarga di Virginia. Sophie, nama remaja perempuan itu, berkeinginan untuk tidak meneruskan restoran keluarganya dan memiliki restoran sendiri. Sophie akhirnya secara sembunyi-sembunyi mengikuti reality show ‘Teen Test Kitchen’ dan buku ini bercerita tentang kisahnya selama mengikuti reality show yang juga ternyata tidak benar-benar ‘reality’.
Lanjut buku kedua yang kubaca sejak hari sabtu, buku ini berkisah tentang 3 orang-Aruna, Bono, dan Nadezhda- dengan karakter yang tidak biasa dan pekerjaan yang berbeda namun memiliki obsesi yang sama : makanan. Di tengah kebosanan dalam menjalani kehidupan di Jakarta, Bono dan Nadezhda memutuskan untuk mengikuti perjalanan tugas kantor Aruna yang sedang menyelidiki kasus flu burung di 8 kota di Indonesia. Dan tentu saja perjalanan itu akan bukan hanya menjadi perjalanan dinas biasa tetapi juga perjalanan lidah mereka untuk menjelajahi kuliner dari berbagai kota di Indonesia.
Belum sempat menamatkan buku kedua. Teleponku berbunyi. Ibuku mulai memarahiku yang malas memasak (tapi tidak malas seharian baca buku di kasur) dan berbicara panjang lebar tentang kewajiban seorang istri sekaligus menantu perempuan. Ibuku mengkhawatirkan anak perempuannya yang bahkan tidak bisa menyebutkan bumbu-bumbu di dapur dengan benar, serta tidak bisa membedakan antara buncis dan kacang panjang. Aku cuma terdiam sampai ibu selesai bicara dan mengeluarkan senjata pamungkas : “Ya sudah. Kalo memang seribet itu, nikahnya ditunda sampai aku bisa masak.”
Telepon ditutup tanpa kalimat penutup. Aku lanjut membaca novel kedua.
* apa ini tanda-tanda alam bahwa aku harus mulai insaf, bro?