Awalnya, dahi saya berkerut ketika pertama mendengar judul buku Binatangisme karya George Orwell lantaran selama ini saya cuma menemukan judul-judul buku George Orwell yang dipajang di toko buku biasanya adalah Animal Farm dan 1984. Baru ngeh ketika membaca pengantar penerbit di buku ini dan disebutkan bahwa Binatangisme adalah terjemahan dari Animal Farm karya George Orwell yang diterjemahkan dengan gaya berbeda oleh Mahbub Djunaidi.
Binatangisme menceritakan tentang pemberontakan yang dilakukan oleh para binatang di peternakan Tuan Manor. Diceritakan, Mayor Tua, seekor babi putih yang cerdas mengumpulkan para binatang dan mengatakan bahwa kemerdekaan bagi para binatang akan segera tiba. Mereka tidak akan lagi dieksploitasi oleh manusia seperti selama ini. Pemilik peternakan akan mengeksploitasi tenaga, telur, susu, bulu para binatang untuk kepentingan mereka. Bahkan, setelah mengabdi, daging dan tubuh mereka akan tetap menjadi santapan para manusia. Maka, Mayor Tua mengobarkan pemberontakan dan mengatakan bahwa Revolusi harus terjadi entah cepat atau lambat.
Tak lama kemudian, Mayor Tua mati. Pemberontakan di Peternakan Tuan Manor telah terjadi. Dua babi muda bernama Snowball dan Napoleon, bersama dengan Squealer mengembangkan ajaran Mayor Tua menjadi sistem pikiran yang komplit bernama Binatangisme. Lalu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia untuk merencanakan pemberontakan. Hingga tiba pada saat kesempatan itu tiba. Para binatang bersatu untuk memberontak. Mereka mengusir penjaga peternakan dan mengganti peternakan Manor dengan Peternakan Binatang (Animal Farm).
Resensi buku lainnya : Menjalani Hidup Ala Novel Kiat Sukses Hancur Lebur
Dipimpin Snowball dan Napoleon, para binatang menyepakati “Tujuh Pedoman Utama” yang harus dipatuhi di Peternakan Binatang. Mereka mulai mengatur Peternakan Binatang. Dilakukan pembagian tugas serta pekerjaan di antara para binatang. Mereka semua bekerja keras demi kesejahteraan bersama. Namun di tengah jalan, terjadi perselisihan dan perebutan puncak kepemimpinan antara Snowball dan Napoleon yang dimenangkan oleh Napoleon sehingga memaksa Snowball pergi dari Peternakan Binatang.
Kehidupan Peternakan Binatang berlanjut dengan Napoleon sebagai pemimpin tunggal. Namun, impian untuk kemerdekaan para binatang tetaplah semu karena justru para binatang mengalami eksploitasi oleh pemimpin mereka sendiri yang juga adalah sesama binatang. Tujuh Pedoman Utama yang telah disepakati dan ditulis di dinding telah berubah menjadi hanya pedoman tunggal yang berbunyi “Semua Binatang Sama Derajatnya Tapi Ada Binatang Yang Lebih Tinggi Derajatnya Dibanding Yang Lain”.
Pada akhir cerita dikisahkan, para binatang mengintip pemimpin mereka yang sedang makan malam bersama para manusia. Lalu para binatang mendengar pemimpin mereka dan para manusia saling bertengkar ketika bermain kartu hingga para binatang tidak dapat lagi membedakan, siapa di antara mereka yang manusia dan siapa di antara mereka yang binatang.
Resensi buku lainnya : Kisah-Kisah Sedih dalam Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi
Novel Binatangisme merupakan novel alegori politik. Novel ini berisi kisah satir para binatang yang berada dalam sebuah peternakan. Awalnya saya tidak begitu tertarik membaca novel ini, tapi setelah membaca dua bab awal, saya ingin segera menyelesaikan novel ini. Entah mengapa, sekalipun tokoh-tokoh di novel ini adalah para binatang, saya merasa seperti telah membaca sejarah tentang kediktratoran kekuasaan manusia yang pernah terjadi. Pada bagian cerita dimana binatang-binatang seperti ayam, bebek, dll yang mengaku memihak lawan pemimpin Peternakan Binatang akhirnya “dimusnahkan” oleh pemimpin, saya hampir menangis. Mengingat masih ada juga manusia-manusia yang jadi korban kediktratoran pemimpin mereka sampai saat ini.
Novel Animal Farm yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi ini juga terasa segar karena Mahbub menggunakan bahasa yang terkesan asal dan kadang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti yang ditulis pada kata pengantar penerbit, Mahbub Djunaidi adalah seorang esais yang menulis dengan gaya parody, kritis, humoris, sinis, dan tajam. Mahbub tidak terlalu patuh pada bahasa sumber dan lebih memilih masuk pada pemaknaan daripada kesetiaan harfiah. Karena itu, novel Binatangisme terasa mengalir, lincah, dan enak dibaca oleh seorang pembaca amatir seperti saya.
KETERANGAN
- Judul Buku : Binatangisme (Animal Farm)
- Penulis : George Orwell
- Penerjemah : Mahbub Djunaidi
- Penerbit : Gading
- Tahun Terbit : 2017
- Jumlah Halaman : X + 153 hlm
8 Comments
Yang versi lama pernah baca mbak, klo gak salah penerjemahnya beda, cmiiw, udah lama sih, aku lupa, haha
iya, ini asyik banget pesannya juga dapet banget, ada juga manusia yg kayak binatang seperti di akhir cerita itu
Iyaa, karena bahasa satirnya itu bikin pesannya jadi kena ya mas 😀
Terbawa imajinasi bgt dimana ketika binatang berinteraksi layaknya manusia
Iyees mbaak, berarti kita sama-sama terbawa imajinasi ya 😀
sepertinya ceritanya menarik ya, mba..
jadi pengen baca…
tapi tumpukan buku yang belum dibaca di rak masih banyak
hehehehe….
Duh, kita sama mbaak. ini juga dalam rangka menghabiskan tumpukan buku yang pernah dibeli tapi belum sempat dibaca. Hehehe
Menarik, tapi saya kesulitan membayangkan gaya bahasa satirnya Mahbub Djunaidi. Kalau kamu cuplikkan beberapa quote-nya, mungkin akan lebih informatif.
Oke mbak. Saran yang bagus banget. Kenapa gak terpikirkan ya buat ngasih cuplikan-cuplikan di dalam novel. Next project deh mbaaak. Thanks yaaaaa 😀