Biru Magenta : Sebuah Percakapan Melankolis Dalam Satu Buku Puisi

biru-magenta
Saat pertama kali saya disodori buku ini, seketika saya jatuh cinta. Pada Judulnya yang merupakan warna kesukaan saya : Biru dan Magenta. Juga pada covernya yang didominasi warna hitam. Maka saya tidak sabar untuk membaca lembar demi lembar puisi di dalam buku ini.

Kembali saya jatuh cinta pada isi buku ini. Setiap kata dirangkai dengan penuh keindahan. Seolah menulis kata demi kata tidak ditulis tangan tapi dipahat dengan penuh ketelatenan pada sebongkah batu alam. Bahkan sejak halaman pengantar, rangkaian kalimat disusun dengan sangat indah. Begitu juga dengan setiap puisi yang disajikan. Percakapan dua arah antara Sang Biru dan Sang Magenta seakan dialog antara dua manusia yang benar-benar jatuh cinta : melankolis dan manis. Ditambah dengan ilustrasi yang dilampirkan disela-sela puisi. Saya sangat iri pada ilustratornya, karena saya tidak pernah bisa menggambar dan buku puisi pertama saya hanya berisi 3 gambar dari teman saya.
Ini adalah puisi berbalas dari Sang Biru  dan Sang Magenta yang paling saya sukai dari buku puisi ini :

{ MAGENTA }

MEGATRUH: SEBUAH PESTA TANPA CHAIRIL
Mari, Sayang,
malam ini kita pergi ke pesta.
Mengendap-endap dari bilik malam,
lalu bergegas melompat naik ke rembulan.
Lihatlah, Sayang,
sudah kupakai gincu merah semerah resah
juga gaun biru sebiru rindu
hadiah darimu saat kita berulang sua di bulan sabit kesebelas.
Malam ini tak usah kau ajak Chairil
dan mukanya yang penuh luka entah milik siapa,
sebab aku hanya ingin menari denganmu
bergeliat di tengah haru Sekar Megatruh
di antara putik bunga-bunga gelisah.
Mencumbui serapah.
Menyesap anggur perjamuan yang sepat.
Berdansa, hingga kita lemas dan kelelahan.
Lalu diusir subuh dan terbangun di rerumputan Firdaus,
yang telah lama kering dan sedikit lagi memati dalam sunyi
: Sendiri,
Lalu kita berpeluk erat memadu geletar
dan kita bersorak dalam bisik:
“Selamat mati! Selamat menari di pesta abadi!”
Malang, 2011

{ BIRU }

MAAF, TELAH KUBAWA-BAWA CHAIRIL KE PESTAMU

“Aku berkaca bukan untuk ke pesta ini muka penuh luka punya siapa?”

Maaf, telah kubawa-bawa Chairil ke pestamu
sebab dian telah sekarat
dan lelucon tak lagi mengusir maut
mengendap, mengintai ia di tepi-tepi jendela
merampas helai malam
dari purnama dengan ujung jarinya
Maaf, kubawa-bawa pria dengan wajah penuh luka itu
menjumpamu di retakan pesta
berharap kisahnya bersama Ida perlahan mengikis simpul kegilaan
yang disayatkan Nenekmu di malam kepergiannya.
Seorang sahabat
-yang sekarang pun telah tiada, pernah berkata:
“Bila mimpi adalah hujan, ia datang tanpa perlu diundang.”
Dan, kalau maut ibarat pencuri,
maka ia takkan datang di saat yang ramai, Sayang.
Kunyahlah Chairil! Kunyahlah pria berwajah luka itu
bersama kacang berkulit yang kini dihidangkan di depan pelayat.
Teguklah Chairil, teguklah ia, Sayang.
bersama kopi yang pekat-pekat disuguhkan kepada malam.
Tapi -seperti biasa, aku tak akan memaksamu
kalau kau tak lagi suka bersamanya
di depan remuk cermin itu, bakarlah dia!
Bakarlah Chairil, Sayang!
Dan, kembalikan saja ia ke bangkai buku itu.
Probolinggo, 2012
Catatan : Untuk pertanyaan seputar buku ini, silahkan hubungi akun facebook Mas Stebby Julionatan.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *