CERITA SEDIH TENTANG LAUT DAN AKTIVIS 98 DALAM NOVEL LAUT BERCERITA

Beberapa hari lalu, seorang teman lama tiba-tiba menghubungi saya lewat chat wa. Dia adalah seorang teman satu organisasi di UKM Penulis semasa saya kuliah di Malang. Kami tidak pernah bertemu lagi selama lebih dari 10 tahun. Bahkan kami sangat jarang berkomunikasi kecuali kadang saling membalas komentar di facebook. Dia membuka chat kami dengan pertanyaan,”Masih suka baca Novel Dewi Lestari?” disertai dengan foto buku terbaru karya Penulis yang lebih dikenal sebagai Dee itu.

Seketika saya terdiam dan bingung menjawab apa. Saya merasa begitu menyedihkan karena tidak lagi membaca buku fiksi seperti yang rutin saya lakukan ketika dulu masih menjadi mahasiswa. Sambil menertawakan diri sendiri, saya berjalan ke arah rak buku dan mengambil novel “Laut Bercerita” yang ditulis Leila S Chudori dan masih terbungkus plastik secara rapi.

Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali. – Soetardji Calzoum Bachri

Air mata saya mengalir saat saya membuka halaman pertama. Sebuah Prolog. Yang menyajikan cerita dari sudut pandang tokoh utama novel ini yaitu Biru Laut. Bagaimana bisa mbak Leila langsung mematikan tokoh utama di awal novel dengan cara yang tragis ? dan semua cerita flashback dalam novel ini adalah bagian dari ‘proses’ kematian yang digambarkan pelan-pelan, syahdu, sendirian, dan kesepian.

Sebagai generasi yang menempuh kuliah pada tahun 2005, informasi tentang aktivis 98 saya dapatkan dari media dan novel-novel yang berlatar tahun 1998. Saya pernah mendengar bahwa banyak aktivis-aktivis mahasiswa yang ‘menghilang’ pada awal tahun 1998. Saya juga pernah membaca tentang ritual kamisan yang dilakukan oleh keluarga korban yang hilang tahun 1998. Namun saya tidak pernah secara intens membaca detail ceritanya. Jadi ketika membaca novel ini, saya diliputi kesedihan luar biasa. Bahkan terkadang saya harus berhenti beberapa saat, menutup novel, dan menghela nafas panjang karena tidak kuat membaca adegan apa yang terjadi selanjutnya. Novel ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya dengan pertanyaan ‘mengapa?’

Sekalipun berlatar belakang Yogyakarta, salah satu kota impian saya saat ingin menempuh pendidikan tinggi, saya sama sekali tidak mendapatkan ‘romantisme’ ala orang-orang kasmaran yang menganggap Yogyakarta sebagai kota angkringan dan penuh kenangan. Yang ada hanyalah bagaimana aktivitas ‘bawah tanah’ yang dilakukan para mahasiswa selama masa orba sedemikian ‘hidup’ serta perjuangan para mahasiswa atas nama demokrasi yang sudah tidak lagi memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Betapa mahasiswa bisa dianggap sangat berbahaya karena pemikiran kritisnya yang ingin membuat sebuah perubahan. Masa-masa itu mungkin tidak dihadapi oleh generasi saya yang pada tahun 2000an sudah mulai menikmati kebebasan berbicara, menulis, dan membaca. Bahkan saya bisa membaca buku Pramoedya dan menonton film Gie di Kampus sambil berdiskusi dengan beberapa teman. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam Novel Laut Bercerita saat jaman Orde Baru.

Saya berhasil melepas ‘kerinduan’ tidak membaca buku fiksi selama lebih dari 3 tahun ini. Meski kerinduan tersebut harus diikuti dengan perasaan sedih secara terus-menerus karena membayangkan bagaimana keluarga korban aktivis 1998 yang menghilang tidak pernah menyerah dan selalu beranggapan bahwa suatu saat anaknya akan kembali dan menikmati makan siang bersama di akhir pekan. Serta bagaimana menyedihkannya jika sesama aktivis 1998 yang sempat ditahan bersama korban hilang akhirnya dibebaskan. Ada perasaan bersalah yang dikenal dengan ‘survivor guilt’, trauma yang tidak pernah hilang, dan pertanyaan yang berputar di kepala “mengapa saya dipulangkan sementara teman saya menghilang?”. Pertanyaan tersebut diikuti oleh pernyataan pada bagian akhir novel Leila S. Chudori ini yang terus terngiang-ngiang di kepala saya:

“Payung Hitam akan terus-menerus berdiri di depan istana negara. Jika bukan presiden yang kini menjabat yang memberi perhatian, mungkin yang berikutnya, atau yang berikutnya. Kami percaya pada kedalaman dan kesunyian laut, dan kami percaya pada terangnya matahari. Kami juga percaya Mas Laut, Mas Gala, Sunu, Kinan, dan kawan-kawan yang lain akan lahir berkali-kali.”

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *