Dunia Personal dan Sejumlah Narasi

Dunia Personal dan Sejumlah Narasi dalam Kumpulan Puisi Ada Hujan Turun Pelan-Pelan Karya Ria A.S.[1]

Oleh Royyan Julian
[2]
Ada sejumlah dunia yang hendak dibangun oleh Ria A.S. di dalam puisi-puisi di dalam buku Ada Hujan Turun Pelan-Pelan. Sejumlah dunia tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, dunia personal, yaitu dunia tempat Ria A.S. mengartikulasikan pengalaman personalnya tentang kesepian, kerinduan, dan kenangan. Kedua, dunia yang merupakan representasi dari “narasi”, baik narasi besar (pada abad modern), maupun narasi kecil (pada abad post-modern). Menurut Yasraf Amir Piliang, “narasi” merupakan konsep sentral peradaban, baik sebagai cara merepresentasikan, memahami, memaknai, maupun melakoni dunia kehidupan. Narasi dilihat sebagai wacana (narrative discourse) yang di dalamnya, aktor-aktor yang terlibat membangun sebuah cerita dunia berdasarkan pemahaman, pengetahuan, keyakinan, dan ideologi masing-masing. Di dalam minoritas puisi A.S. inilah sejumlah narasi dibicarakan, seperti spiritualitas lokal, isu pemanasan global, eropasentris, serta inferioritas dan stereotipe jender.

Membaca mayoritas puisi di dalam Ada Hujan Turun Pelan-Pelan seperti membaca sebuah diary. Diary tersebut ditulis dalam beragam langgam bahasa. Ada langgam bahasa naratif (meskipun tidak sampai menjadi puisi balada) dan ada pula yang ditulis dengan tetap mempertahankan bentuknya sebagaimana puisi (dengan pilihan kata—dan ungkapan—yang ketat). Membaca puisi-puisi A.S. dalam buku ini seperti memasuki sebuah dunia lirih dan sendiri. Pembaca akan disuguhi sebuah lanskap yang sepi, pergolakan rindu, dan kenangan yang terus membayang-bayangi. Pembaca tak akan kesulitan menemukan puisi dengan panorama sendu semacam itu. Sebab, puisi-puisi itulah yang banyak berhamburan di dalam buku ini.

Rasa kesepian, misalnya terdapat dalam puisi “Aku yang Tertipu”: aku yang kesepian/ karena kau tak ingin bangun dari dunia utopismu/ aku yang berteman sunyi/ atas sebentuk jasad dan malam-malam buatanmu. Larik-larik puisi tersebut merupakan ekspresi dari seseorang yang mengalami keterpisahan dengan (mungkin) sang kekasih yang berada di dunia entah di mana (utopia/antah berantah). Meski demikian, aku lirik tetap bertahan dalam dunia yang sepi sebagai bentuk pengabdiannya kepada sang kekasih sehingga ia berkata: tapi,/ aku,/ di sini,/ di antara asap rokokmu,/ akan selalu memujamu.

Pada aku lirik yang lain, kesepian bisa berarti suasana yang tidak menyenangkan sebagaimana di dalam puisi “Kesepian Nyata”: ternyata/ kesepian itu nyata/ tembok seolah neraka/ dan orang di antaranya adalah arca. Puisi tersebut dengan eksplisit menunjukkan bahwa kesunyian adalah sebuah realitas yang terjadi karena kondisi riil, bukan karena suasana hati. Kesepian yang lain ditulis dalam bahasa alegori yang pendek: kini aku hanya punya pagi/ tanpa ada puisi lagi (“Pagi Tanpa Puisi). Sementara itu, perasaan rindu begitu indah ditulis dalam puisi “Rindu-Rindu yang Berjatuhan”.

tidak ada yang bisa kau harapkan

dari senja manis sehabis hujan

selain rindu-rindu yang berjatuhan

dan terhisap habis oleh tanah

segera, berlarilah!

punguti satu per satu titik-titik rindu

karena di dalamnya tersimpan

nama-nama pecinta yang terlalu lama tidak bertemu.

Untuk menciptakan suasana yang melankolik, A.S. menggunakan majas-majas simbolik berupa pilihan kata “senja” dan “hujan”. “Senja” dan “hujan” merupakan perlambang suasana yang sendirian, lengang, dan sedang menunggu sesuatu yang diharapkan. Itulah yang membuat suasana “rindu” yang hendak dibangun oleh penyairnya menjadi kuat dan berhasil. Perhatikan puisi “Harapan” berikut: seperti musim yang berganti rupa/ hujan tidak lagi datang/ begitu pula harapan. Sebagaimana puisi “Rindu-Rindu yang Berjatuhan”, puisi tersebut menggunakan majas perumpamaan untuk menyamakan hujan dengan harapan (yang tengah dirindukan).

“Hujan” di dalam buku ini menjadi kata kunci, tentang sesuatu yang dirindukan (diharapkan) kedatangannya. Hujan telah menciptakan beragam cerita bersama aku lirik. Pembaca bisa melihat kenyaataan ini di dalam puisi “Dongeng Hujan”: dari kotak langit/ ada hujan turun pelan-pelan/ menjelma udara/ menjelma cinta/ menjelma kita. Beragam cerita tentang aku lirik dan hujan bisa pembaca temukan pada puisi “Doa Air Hujan”, “Hujan dan Pelangi”, “Hujan Tanpa Payung”, “Musim Penghujan”, “Senja dan Anda”, “Tanpa Hujan”, “Tentang Hujan”, dan “Tidak Ada Hujan Musim Ini”. Setiap pembaca tentu saja bisa menafsirkan hujan di dalam puisi-puisi tersebut dengan cara yang berbeda-beda.

Kerinduan yang lain ditulis dalam aku lirik yang lebih aktif seperti di dalam puisi “Apa-Apa Rupa”: mencari udara yang menyimpan aroma nafasmu/ nihil. Setelah A.S. menggunakan “hujan” sebagai simbol “yang dinantikan/dirindukan/diharapkan”, lalu di dalam puisi ini, aku lirik berkata, kali ini kau menjelma apa sayang? sebagai tanda bahwa yang tengah dirindukan tak kunjung datang.

Rasa putus asa lantaran yang dirindukan tak kunjung datang begitu gamblang ditulis di dalam puisi “Ingin Angan-Angan”: atau jika tetap tidak bisa,/ biarlah aku berlalu/ membawa sisa rasa kelu/ bersama hati yang menjerit pilu/ karena letih menunggu. Bunyi “u” pada rima tiap larik dalam bait tersebut kian menambah suasana yang muram.

Di dalam puisi-puisi A.S., sepi, rindu, dan kenangan saling berjalin, menjadi sebuah paket yang tak terpisahkan. Ketiganya membentuk cerita yang utuh, ketiganya saling memengaruhi. Perhatikan puisi “Taruhan” berikut.

permainan baru dimulai

taruhan telah ditetapkan

antara kau, rindu, dan dingin malam kota lama

dadu dilempar tergesa

aku menutup mata

dan kau melihat siapa pemenangnya

: kenangan

Dalam puisi tersebut, aku lirik mencoba menerka-menerka, kira-kira siapa di antara tiga hal (kau, rindu, dan sepi) yang paling kerap “menghantui” hidupnya (dan eksistensinya). Dan jawabannya adalah “kenangan”. Di dalam puisi tersebut, petanda “kenangan” ditulis dalam dua penanda, yaitu “kau” dan “kenangan”. Petanda “sepi” ditulis dalam penanda “dingin malam kota lama”.

Sebagaimana yang telah disebutkan, penanda “kenangan” disimbolkan dengan petanda “kau”. Sebab, kau adalah kenangan itu sendiri sebagaimana penyimbolan “yang dirindukan” dengan petanda “hujan”. Hal serupa terdapat di dalam puisi “Pertempuran Awal Pagi”: ini tentang pertempuran-pertempuran kecil/ antara kau dan kenangan masa silam/ juga orang-orang yang sengaja/ berlalu lalang dalam ingatan. “kau” dan “kenangan masa silam” adalah sebuah paket yang menjadi satu. Sebab, kau adalah masa silam itu sendiri.

Begitulah dunia personal itu ditulis oleh penyairnya. Antara puisi satu dengan puisi yang lain menjadi saling terkait, disusun dari serangkaian peristiwa yang saling berkelindan, menjadi sebuah diary. Puisi-puisi personal tersebut diekspresikan dengan bahasa yang sederhana sesuai dengan kapasitasnya sebagai pengalaman yang sederhana. Inilah yang membuat bahasa dalam puisi-puisi tersebut diracik dengan bumbu yang pas. Ia tak ditulis dengan majas yang hiperbol sebagaimana puisi-puisi gerakan romantik. Sebab, penyairnya sadar, hal-hal yang sederhana tak perlu ditulis dalam ungkapan, simbol, dan imaji yang rumit.

***

Untuk menemukan sebuah narasi yang termaktub di dalam sebagian kecil puisi A.S., pembaca perlu memakai kacamata hermeneutik. Hermeneutik adalah sebuah metode penafsiran dengan melihat fenomena di dalam teks. Sasaran hermeneutik adalah pesan yang hendak disampaikan, bukan wadahnya (teks itu sendiri). Menurut Ricoeur, hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Interpretasi teks sangat bergantung pada pengalaman si penafsir. Secara sederhana, hermeneutik mencoba memberi kewenangan kepada imajinasi pembaca untuk memahami teks. Para kritikus menyebutnya dengan istilah nalar puitik. Menurut Hirs, makna hasil interpretasi tidak harus memiliki hubungan logis dengan maksud pengarang. Oleh karena itu, ketika terjadi perbedaan makna antara yang dimaksudkan si penafsir dengan yang dimaksudkan A.S. (sebagai pengarangnya), itu menjadi sah-sah saja.

Ada sebuah narasi besar yang secara eksplisit (dan mungkin tak sengaja lantaran telah tertancap kuat di dalam kesadaran pengarangnya) terdapat di dalam beberapa puisi A.S. Narasi besar itu adalah patriarki. Sejumlah puisi tersebut secara tidak sadar menerjemahkan dunia dalam subuah konsep yang mengacu pada satu kondisi bahwa segala sesuatu diterima secara fundamental dan universal sebagai dominasi kaum laki-laki. Alhasil, yang terjadi adalah relasi hegemonik, yang satu lebih superior ketimbang yang lain. Perhatikan puisi “Inang Ronggeng” berikut.

tak usah kanda berpaling

dan bersembunyi malu-malu di balik tundukan wajah

ini aku,

satu inang ronggeng bersemayam penuh

mengajariku menari dengan teluh

memikat dan merayu kelelakianmu dengan peluh

ini aku,

sampur kulemparkan hanya untukmu, kanda

membelai lembut

mengikat erat dan menarik leher kokohmu

ini aku,

senandung yang mengalir untukmu

kerlingan mata indahku

tunduklah di bawah mataku

mendekatlah di samping ranum tubuhku

menyerahlah untukku

karena aku akan menjadi wanitamu malam ini

Puisi tersebut meneguhkan mitos kejantanan dengan menjadikan sisi feminitas perempuan sebagai objek (karena aku akan menjadi wanitamu malam ini). Dalam hal ini, perempuan menjadi sebuah panggung, pelayan libido laki-laki (mendekatlah di samping ranum tubuhku). Bisa ditebak apa yang terjadi: perempuan akan menjadi objek di dalam hubungan seksual. Sebab panorama yang disuguhkan adalah latar kebudayaan Jawa yang sepenuhnya patriarkis (tradisi keronggengan). Perempuan adalah makhluk yang berfungsi sebagai perayu dengan segala potensi tubuh dan erotikanya (memikat dan merayu kelelakianmu dengan peluh). Gaya repetisi ini aku pada setiap awal bait sudah menunjukkan bahwa perempuan berada dalam wilayah kekuasaan laki-laki.

Hal yang sama juga terjadi pada pada puisi “Diam”: kelak aku akan menyewakan rahim kecilku/ untuk tempat nyaman bayi-bayi mungilmu. Dua larik puisi tersebut secara tidak sadar menganggap bahwa perempuan adalah sebuah komoditas. Mengeksplorasi tubuh perempuan dalam bahasa feminisme berarti memberikan dukungan kepada patriarki. Lagi-lagi kasus serupa juga terdapat di dalam puisi “Bukan Tabib”: memang aku bukan tabib/ tapi aku berani menawarkan untukmu/ “sebuah rasa penyembuh sendiri”. Terlepas dari bias jender, puisi-puisi patriarkis tersebut terasa aneh ketika pembaca tahu bahwa penyairnya adalah seorang perempuan (modern) yang tak bisa melepaskan diri dari jerat nilai-nilai budayanya (yang begitu halus merasuki alam bawah sadar).

Puisi stereotipe jender yang begitu klise diungkapkan di dalam puisi “Reinkarnasi”: perempuan itu percaya reinkarnasi/ percaya pada keberuntungan abadi/ bahwa di kehidupan lampau/ dia mampu menyihir laki-laki/ melalui ratusan syair/ yang mendadak lahir/ tanpa pernah ia kandung.

Kutipan puisi tersebut mengingatkan kita pada beberapa dongeng atau cerita rakyat yang seringkali melekatkan penyihir pada jenis kelamin perempuan. Tak ada “kakek sihir”, yang ada adalah “nenek sihir”. Begitu pula tokoh-tokoh legendaris dongeng dan cerita rakyat acapkali menjadikan perempuan sebagai tokoh penyihir, baik dalam tradisi Barat maupun Timur. Kita mengenal Calonarang, Roro Kidul, Mak Lampir, Nini Pelet, ibu tiri Putri Salju, penyihir antagonis dalam dongeng Putri Tidur sebagai seorang perempuan. Belum lagi tragedi berdarah yang terjadi di Eropa abad Pertengahan ketika yang dituduh sebagai tukang teluh yang gemar bersekutu dengan setan adalah para perempuan. Mengapa harus perempuan? Misteri stereotipe inilah yang barangkali menjadi PR yang mesti dipecahkan.

launching-buku

Gelombang eropasentris rupanya juga menjadi wacana di dalam buku ini. Tokoh gadis di dalam puisi “Cah Ayu,” menggunakan standar Eropa untuk menilai dirinya. Dalam genealogi orientalisme, Edward Said berpendapat bahwa relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana tersebut tidak hanya kekuasaan politis, intelektual, dan moral, tetapi juga kekuasaan kultural seperti kolonisasi selera. Alhasil, segala yang dinilai baik harus berasal dari Barat (penjajah). Dengan kondisi fisik ala perempuan Jawa (yang hidungnya tidak mancung, kulitnya sawo matang, tubuhnya pendek), tokoh gadis di dalam puisi “Cah Ayu,” mengikuti selera estetika kolonial, dengan ingin menjadi seorang perempuan menurut standar mereka (hidung mancung, kulit putih, dan tubuh tinggi)

Meskipun beberapa narasi yang telah dibahas berbicara dalam kerangka ideologi narasi besar (patriarki dan eropasentris), A.S. juga tidak luput perhatian terhadap narasi kecil. Perhatikan puisi “Upacara” berikut.

satu upacara terlaksana pagi ini

puluhan orang berdiri menyembah matahari

sebuah bundaran tidak sempurna

dengan warna kuning merah

perlahan memenuhi langit timur

mereka memulai ritual

menghadap matahari pagi

berlutut dengan tengadah pasrah

“wahai, mayapada…

haruskah kulumuri wajahmu

dengan darah dan airmata?”

Setting spiritual puisi tersebut adalah agama lokal (penyembah matahari), agama-agama yang memberikan perhatiannya pada bumi. Aku lirik berdialog kepada mayapada (alam semesta) tentang sebuah kerusakan bumi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Puisi tersebut bisa menjadi teguran kepada agama-agama monoteis (Islam, Kristen, Yahudi) yang banyak dianut oleh umat manusia. Menurut Ayu Utami, agama monoteis bersifat samawi (langit) sehingga hanya berorientasi pada langit, tanpa peduli pada bumi. Berbeda dengan agama-agama lokal yang bersifat ardi (bumi), yang senantiasa memberikan perhatiannya pada apa yang terjadi saat ini, pada bumi, pada kesejahteraan penghuninya. Dalam hal ini, pemanasan global adalah dosa besar para penganut agama monoteis yang tanpa permisi kerap merusak alam sesuka hati. Sikap demikian terjadi karena para penganut agama monoteis telah kehilangan kepercayaannya terhadap mitos-mitos lokal, pengeramatan terhadap alam, roh-roh nenek moyang yang bersemayam di pohon-pohon besar dan batu-batu. Alhasil, kehilangan rasa takut terhadap alam telah membuat mereka bercokol dalam posisi penguasa, bukan mitra yang harmonis dengan alam.

[1] Lulusan Sastra Indonesia UM dan pengajar bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) di UM

[2] Disampaikan dalam Launching dan Bedah Buku “Ada Hujan Turun Pelan-Pelan” Padepokan Aksara UKMP UM, 13 Maret 2013

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *