FATAYAT NU DAN ISU-ISU TENTANG PEREMPUAN DI JAWA TENGAH

Baru sekitar satu tahun saya bergabung menjadi Pengurus PAC Fatayat NU Kecamatan Batang, tiba-tiba saya diamanahi satu tugas lagi untuk menjadi Pengurus di PC Fatayat NU Kabupaten Batang. Awalnya saya menolak karena merasa tidak terlalu aktif ketika mengikuti kegiatan di tingkat kecamatan. Apalagi jika nanti menjadi Pengurus PC, maka kegiatannya akan diadakan di lokasi-lokasi yang lebih jauh dengan jadwal kegiatan yang lebih padat. Namun, setelah berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk menerima. Prinsip saya hanya ‘mengikuti aliran air’ sambil berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berputar-putar di kepala.

Saya dan pengurus-pengurus lain dilantik pada hari Minggu tanggal 23 Januari 2022 di Pendopo Kabupaten Batang dengan fasilitas dari Pemkab Batang. Acara dimulai pada jam 8 pagi dengan diawali pelantikan Pengurus PC Fatayat NU Kabupaten Batang oleh Ketua PW Fatayat NU Jawa Tengah. Acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Ada empat sambutan yang disampaikan oleh Bupati Batang, Ketua Tanfidziyah NU Kabupaten Batang, Ketua PW Fatayat NU Jawa Tengah, dan Ketua PC Fatayat NU Kabupaten Batang. Namun, dalam konteks tulisan ini, saya berfokus pada sambutan Bupati Batang dan Ketua PW Fatayat NU Jawa Tengah.

Sambutan yang disampaikan oleh Bupati Batang menekankan pada KITB dan peran Fatayat di dalamnya. Ada dua hal dari KITB yang dapat dimanfaatkan, yaitu Peluang Dakwah dan Potensi Ekonomi. Beliau membayangkan jika Fatayat bisa masuk ke lingkungan pabrik untuk berdakwah kepada pekerja-pekerja perempuan di sana. Selain itu, Fatayat dapat memanfaatkan potensi ekonomi dengan adanya KITB untuk berwirausaha dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan pekerja. Dengan kata lain, Bapak Bupati benar-benar mengarahkan Fatayat sebagai organisasi perempuan di bidang keagamaan untuk sesuai dengan ‘peran keperempuanannya’. Tentu ini akan berbeda dengan Lakpesdam NU Kabupaten Batang yang tahun 2021 lalu pernah mengadakan diskusi tentang KITB namun dari sisi dampak terhadap lingkungan alam di sekitarnya.

Sambutan selanjutnya yang saya bahas dalam tulisan ini adalah sambutan Ketua PW Fatayat NU Jawa Tengah, yaitu Tazkiyyatul Muthmainnah. Saya agak terkesima saat di awal sambutannya beliau bertanya” Ada yang tahu tentang RUU PKS?”. Setahu saya, pembahasan mengenai kekerasan seksual masih dianggap tabu di tingkat Ranting, PAC, maupun PC Fatayat NU Kabupaten Batang. Bahkan, yang lebih berani menyuarakan kekerasan seksual adalah LBH Ansor yang pada akhir tahun 2021 lalu telah mengadakan Seminar dan Kampanye Anti Kekerasan Seksual. Kampanye yang melibatkan NU, ULT PPKS Setara PSGA IAIN Pekalongan, DPRD, Kejari, serta Kepolisian ini diselenggarakan sebagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian akan banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual di Kabupaten Batang.

Baru kemudian saya paham bahwa sahabat Iin (panggilan dari Tazkiyyatul Muthmainnah) bersuara lantang mengenai RUU PKS karena dia adalah anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah yang juga berjuang bersama aktivis-aktivis perempuan lain untuk mendesak disahkannya RUU PKS menjadi Undang-Undang. Dia bercerita semasa menjadi aktivis saat berkuliah di Jogja, dia juga pernah mendemo DPRD. Baru kemudian dia sadar bahwa selain berjuang di jalan, perjuangan juga bisa dilanjutkan dengan ikut berperan dalam pengambilan keputusan. Sehingga saat menjadi anggota DPRD pun dia juga ikut menyuarakan isu-isu perempuan. Dia juga memaparkan data bahwa tingkat partisipasi perempuan di DPRD Batang cukup rendah yaitu sekitar 18% sehingga perlu ditingkatkan untuk periode berikutnya.

Sahabat Iin memaparkan data kekerasan yang terjadi di Kabupaten Batang menempati peringkat 11 tertinggi se Jawa Tengah, begitu juga data Kematian Ibu setelah melahirkan yang berada di peringkat 15 tertinggi se Jawa Tengah. Untuk itu, pembangunan RSNU di Limpung sebenarnya merupakan ‘kewajiban’ kita untuk mempermudah akses Kesehatan bagi Ibu dan Anak dengan tujuan mengurangi tingkat kematian Ibu setelah Melahirkan.

Selain berbicara mengenai isu-isu kekerasan seksual, Sahabat Iin juga menyampaikan tentang angka perkawinan anak di Jawa Tengah yang masih tinggi. Sekalipun UU Perkawinan terbaru sudah mensyaratkan usia minimal perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, namun masih banyak yang mengajukan dispensasi menikah. Saya ikut mengamini pernyataan tersebut. Karena berdasarkan data, pengajuan dispensasi menikah di Kabupaten Batang tahun 2019 tercatat sekitar 150 perkara, dan meningkat tajam pada tahun 2020 hingga 2021 sebanyak 712 perkara.

Isu selanjutnya adalah tentang ‘Beban Ganda’ (Sahabat Iin lebih suka menyebutnya dengan ‘Tanggung Jawab Ganda’) yang harus perempuan bawa ketika perempuan memutuskan untuk berumah tangga, bekerja, sekaligus aktif berorganisasi. Peran ganda ini yang harus bisa dipahami olah anggota-anggota organisasi yang lain sehingga sesama anggota dapat saling membantu dalam mencapai program kerja dan tujuan organisasi.

Terakhir, Sahabat Iin berpesan sambil bercanda bahwa jangan heran jika jajaran pengurus banyak yang hamil setelah pelantikan. Hal tersebut wajar dialami oleh Fatayat NU yang merupakan organisasi perempuan muda dengan rata-rata anggotanya berusia 30-40 tahun dan memiliki organ reproduksi yang sangat aktif. Yang terpenting adalah saling support dan membagi peran dalam organisasi. Pada bagian ini, saya tiba-tiba ingat beberapa peristiwa yang terjadi pada organisasi dan komunitas perempuan yang lain yang begitu kuat bertahan dengan saling memahami ‘keperempuan’nya. Berbeda ketika seorang perempuan berada dalam sebuah organisasi/instansi biasa. Ketika mereka menjalani kodrat biologis seperti hamil dan melahirkan, perempuan terkadang tidak bisa bekerja secara optimal seperti laki-laki dalam organisasi. Sehingga mereka cenderung dianggap lambat dan tidak bisa bekerja karena tidak bisa mencapai target yang ditetapkan.  

Menurut pandangan saya selama dua tahun berinteraksi dengan kader-kader Fatayat, isu-isu mengenai kesetaraan gender, beban ganda perempuan, pernikahan anak, dan kekerasan seksual tidak terlalu bisa diterima untuk dibahas secara terbuka. Semua sepakat jika kekerasan terhadap anak adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Tapi ketika berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan terutama dalam konteks hubungan suami istri, banyak yang menganggapnya sebagai hal sensitif karena berhubungan dengan ‘dapur’ rumah tangga orang lain sehingga kita tidak selayaknya ikut campur. Jadi, saya senang sekali ketika mendengar sahabat Iin berbicara terbuka mengenai isu-isu tersebut. Seakan membawa pencerahan dan memantapkan langkah bahwa saya telah mengikuti sebuah organisasi perempuan yang tepat dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Terima Kasih, Sahabat Iin.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *