God Save The Traveler. Tuhan melindungi para pengembara. Kalimat ini mungkin tidak asing bagi para traveler, termasuk traveler amatir seperti saya. Sebenarnya saya malu menyebut diri saya sebagai traveler, karena ternyata saya tidak pernah kemana-mana layaknya traveler pada umumnya. God Save The Angkoters. Sepertinya kalimat ini lebih cocok untuk saya.
Inilah salah satu episode The Angkoters. Dimana saya memulai perjalanan jumat sore yang teduh dengan angkot, si biru yang setia menjadi teman saya dalam menjangkau tempat-tempat di kota malang. Si biru yang tidak pernah mengeluh hanya karena dia menjadi tempat singgah bagi orang-orang yang bergantian datang dan pergi tanpa sempat dia kenali. Sore ini saya memulai perjalanan dengan pergi ke toko buku Toga mas di daerah dieng dengan angkot JDM rute Jl.Gajayana-Jl.Sumbersari-Jl.Bendungan Sutami-Jl.Galunggung-perempatan dieng.
Setelah puas membaca buku gratis dan membeli dua buku diskon, saya melanjutkan perjalanan saya dengan berjalan kaki. Saya menyusuri jalan Mundu, jalan sepi yang menghubungkan jalan Langsep dengan jalan Terusan Kawi. Tujuan saya sebenarnya ingin menghabiskan waktu di Coffee Story di jalan Kawi Atas, tapi saya urungkan karena saya lihat dari seberang jalan bahwa tempat ngopi ini terkesan eksklusif dan terlalu mewah untuk gembel seperti saya. Akhirnya, saya lanjutkan perjalanan saya ke perempatan ijen yang menghubungkan antara jalan Ijen, Jalan Kawi Atas, Jalan Kawi, dan jalan yang menjadi gerbang untuk Ijen Nirwana Residence. Sekedar informasi, Ijen Nirwana ini merupakan perumahan mewah di kota Malang yang berlokasi pada eks lahan Akademi Penyuluh Pertanian (APP) di Tanjung yang menjadi salah satu Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota Malang sebelum akhirnya berubah menjadi Ijen Nirwana. RTH di Tanjung ini juga menjadi inspirasi dari novel yang berjudul “Lemah Tanjung” karya penulis alm. Ratna Indraswari Ibrahim.
Baiklah, kita kembali ke topik awal. Rencana saya selanjutnya adalah naik angkot GL yang akan mengantarkan pulang ke kos saya di dekat jalan Gajayana. Setelah menunggu lama si GL tidak juga muncul, akhirnya saya memutuskan menyusuri jalan Ijen untuk mencari persimpangan yang di lewati angkot jalur lainnya, yaitu angkot AL. Namun, perjalanan untuk mencari angkot AL, refleks saya tunda ketika melihat tempat ngopi yang berjejer di depan Musium Brawijaya. Saya mengingat lagi kapan terakhir kali saya cangkruk disini. Yah, sekitar 1-2 tahun yang lalu sepertinya. Ternyata deretan tempat ngopi lesehan di pinggir jalan ini bertambah panjang hingga berjajar di samping kanan dan samping kiri musium Brawijaya.
Saya putuskan untuk mampir pada salah satu lesehan yang tepat berada di pertigaan jalan retawu dan jalan ijen karena dari lesehan itu saya bisa melihat lalu lintas dari dua arah. Pesanan saya segelas es kopi sachet dan mi goreng segera habis dalam lima menit, menit-menit selanjutnya saya habiskan dengan memandangi kendaraan yang melintas di jalan depan saya. Setelah bosan memandang kendaraan dan menyisipkan lamunan di jalan retawu, saya mulai memikirkan apakah perjalanan saya akan dilanjutkan dengan berjalan kaki atau naik angkot.
Setelah saya pikir-pikir lagi, saya akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki hingga jalan Wilis untuk sekedar mencari novel-novel bekas disana sambil menunggu angkot LG yang melintas. Pencarian saya di Wilis berakhir nihil, saya tidak berjodoh dengan target saya untuk menemukan novel bekas karya Dewi Lestari seri Supernova yang berjudul Akar dan Petir. Maklum, koleksi novel Akar dan petir saya hilang tak berjejak. Sebenarnya novel Dee ini tersedia di toko buku, tapi entah kenapa saya tidak suka covernya. Saya lebih suka cover pada cetakan pertama, karena itulah saya berusaha mencari cetakan pertama yang mungkin sudah sold out dan tidak di cetak lagi.
Angkot LG melintas, saya menaikinya untuk bisa pulang ke kamar tercinta saya. Tapi di dalam angkot saya ragu lagi, karena ini belum sampai batas jam malam di kos. Jadi saya masih bisa memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menikmati udara terbuka. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di depan pintu gerbang UIN dan nongkrong sejenak di tangga-tangga lebar yang tersusun di sebelah gedung B. Saya duduk sendiri sambil menikmati udara malam dan musik gratis dari sekelompok mahasiswa UIN. Dengan suara yang menurut saya pas-pasan dan nada yang kadang dipaksakan, mereka menyanyikan banyak lagu. Mulai dari lagu populer khas anak muda masa kini hingga lagu perjuangan ala mahasiwa. Di sela-sela mendengar musik gratisan ini, saya mulai merefleksi perjalanan saya sore hari tadi.
Saya runut satu persatu detail perjalanan saya. Entah mengapa selama ini saya merasa seperti kehilangan potongan-potongan dari diri saya hingga saya membutuhkan perjalanan sendiri menyusuri jalan-jalan yang dulu pernah saya lalui. Dan hingga saya menulis cerita ini pada jam 2:04, saya merasa sulit untuk mendeteksi dimana potongan-potongan dari diri saya tengah berada. Apa mungkin potongan itu tersesat di sebuah pantai atau mungkin sebuah gunung atau mungkin malah tersesat di sebuah kota besar, hingga potongan itu terlalu bingung untuk mencari jalan pulang. Entahlah. Saya mati kutu tanpa mereka.
Jika anda tidak sengaja bertemu potongan-potongan diri saya di sekitar anda, tolong katakan pada mereka untuk segera pulang. Minimal, mampir sejenak pada otak saya agar bisa memberi sedikit waktu untuk merefleksi kembali tentang siapa saya dan apa yang menjadi tujuan hidup saya.