Kau bisa menyebut saya pengecut yang bersembunyi dibalik kata realistis. Bahkan kau bisa menyebut saya sebagai oportunis yang terlalu melankolis. Sepertinya saya memang pantas menyandang gelar terlalu realistis yang mendekati oportunis. Saking realistisnya bahkan saya menggadaikan mimpi-mimpi saya, yang salah satunya adalah menjadi penulis.
Ria muda yang masih bau kencur. Lulus SMA bingung akan memilih jurusan apa ketika kuliah nanti. Ibu saya, seorang guru SD, bersikeras meminta saya masuk jurusan pendidikan keguruan. Tapi saya sama sekali tidak tertarik untuk jadi guru. Ayah saya menyarankan saya masuk keperawatan atau kebidanan. Akademi dengan seragam putih yang membuat mahasiswa didalamnya terlihat sangat bersih dan manis. Tapi saya menolak ide itu mentah-mentah karena saya teringat pernah kabur dan bersembunyi saat praktikum pelajaran biologi di SMA yang sedang memeriksa darah setiap siswa. Kepala saya pusing sekali setiap melihat darah (apalagi dalam jumlah yang banyak) di depan saya. Dan tentu saya tidak akan cocok berada di akademi berbaju putih tersebut.
Pilihan lalu mengerucut pada dua pelajaran yang saya sukai : bahasa indonesia dan akuntansi. Saya memang berniat untuk tinggal di malang setelah lulus SMA. Kota tengah-tengah secara ukuran, yang lebih besar dari kota asal saya di Jombang namun lebih kecil dari kota metropolis menyesakkan seperti Surabaya. Saya sangat menyukai pelajaran bahasa indonesia, tapi saya ragu untuk memilih jurusan bahasa dan sastra indonesia. Tahun 2005, seorang Ria selalu berfikir bahwa menulis itu bukan pekerjaan. Dan saya tidak akan mendapatkan banyak uang dari menulis. Maka pilihan saya jatuh pada akuntansi dengan asumsi saya akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan (dan tentu saja uang) sehingga saya bisa membeli buku-buku kesukaan saya dan hidup dalam garis aman dan nyaman.
Singkat cerita, kehidupan yang saya jalani sebagai mahasiswa akuntansi berjalan biasa saja. Tidak ada yang istimewa karena saya tergolong mahasiswa pas-pasan, baik dari segi tampang maupun nilai di kelas. Memasuki semester 5, saya sebenarnya dilanda tingkat muak yang cukup akut karena saya menganggap akuntansi hanya berbicara masalah laba-rugi. Ke-muak-an ini yang membuat saya melarikan diri ke sebuah organisasi menulis di kampus saya. Disana saya bertemu banyak teman dari berbagai jurusan yang sebagian besar dari jurusan bahasa dan sastra indonesia. Lengkap sudah pelarian saya. Jadi saya kuliah formal akuntansi pada pagi hari dan kuliah informal bahasa dan sastra indonesia pada sore sampai malam hari. Aktivitas saya di organisasi ini hanya mendengarkan orang-orang yang berdebat saat diskusi tanpa saya paham topik mereka. Saya hanya mencatat kata-kata yang penting. Saya mulai membaca koran minggu yang memiliki kolom-kolom sastra. Saya mencatat buku-buku yang dibaca oleh teman-teman saya dan mencari buku itu di perpustakaan atau di toko buku agar bisa membacanya. Intinya pelarian diri saya semasa saya kuliah justru membawa saya pada dunia baru yang saya impikan.
Dunia kampus terlewati. Dunia kerja harus dimasuki. Saya harus realistis. Saya harus mendapat uang agar saya bisa mandiri dan bisa mengambil keputusan tanpa campur tangan orang tua saya lagi. Saya harus mendapat pekerjaan agar saya bisa bertahan di kota kecil yang saya cintai ini sekaligus sebagai aktualisasi diri saya kepada orang lain atas ijazah sarjana yang sudah ada ditangan saya. Mulai dari menyebar lamaran atas lowongan yang ada di koran, saya mendapatkan pekerjaan sebagai staf administrasi di sebuah pabrik sapu dan hanya bertahan 3 bulan. Tidak sampai 1 bulan kemudian saya bekerja lagi di sebuah institusi pendidikan tinggi yang akhirnya bertahan sampai sekarang. Sembari bekerja, saya kuliah magister pada akhir pekan dengan biaya dari orang tua saya yang mendapat sertifikasi guru. Kali ini saya berterima kasih kepada SBY, karena program sertifikasi guru lah yang membuat saya bisa kuliah magister berbiaya puluhan juta rupiah. Orang tua saya memang menginginkan saya untuk bekerja tidak jauh-jauh dari dunia pendidikan. Jadi ketika saya secara terang-terangan menolak menjadi guru, orang tua saya menguliahkan saya S2 agar saya menjadi dosen, gurunya para mahasiswa.
Tahun 2015. Lima tahun sudah semenjak saya keluar dari dunia kampus pada tahun 2010 dan sepuluh tahun semenjak saya pertama kali menginjakkan kaki di kota yang saya cintai ini pada tahun 2005. Saya baru saja menyelesaikan tesis yang saya tunda selama lebih dari dua tahun. Saya menyelesaikan magister saya dengan masa studi yang sama dengan masa kuliah S1 yaitu empat tahun. Ehm, ini sebenarnya memalukan dan tidak untuk diceritakan. Tapi saya cukup puas karena berhasil mengalahkan ketakutan dan kemalasan atas pikiran kerdil saya. Dan saya puas karena saya tidak melarikan diri dari apa yang sudah saya putuskan untuk memulainya, yang mau tidak mau harus saya juga yang harus menyelesaikannya.
Tahun 2015. Saya sudah mulai bisa berkompromi dengan pekerjaan saya. Banyak hal yang saya rasa tidak sesuai dengan kata ideal versi Ria di instansi ini, meskipun saya yakin hal ini juga terjadi di instansi lainnya. Saya sudah bisa menerima. Saya bertekad menjadi pegawai yang baik dengan datang dan pulang tepat waktu, serta tidak lagi bertanya tentang hal-hal yang sudah saya ketahui jawabannya.
Tahun 2015. Saya mempertanyakan kembali apa yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya sudah mendapatkan pekerjaan (dan uang) yang cukup untuk membayar sebuah kamar kecil di dekat kantor dan laundri baju setiap dua minggu sekali. Saya juga bisa sesekali berlagak kaya dengan menghabiskan akhir pekan di kafe-kafe yang mulai bertebaran di kota kecil yang masih sangat saya cintai ini.
Maka saya memutuskan berjalan ke satu sudut kecil dalam ingatan masa remaja saya. Saya membuka kembali kotak kecil bersampul cokelat tua yang saya kunci bertahun-tahun (bahkan sudah ada sarang laba-laba di sudut itu). Saya memutar satu kaset di dalam kotak tersebut dan mulai mengingat-ingat lagi impian-impian saya dulu. Saya membuka koleksi buku-buku saya sambil sesekali menontom film di bioskop. Saya membebaskan tokoh-tokoh imajiner yang sempat saya sembunyikan di bawah bantal tipis saya. Saya menghabiskan waktu setelah rutinitas pekerjaan yang membosankan seharian dengan mengupdate blog berkarat ini.
Dan saya sudah bertekad, saya akan menulis (lagi).
Selamat datang kembali, Ria AS. Senang bertemu denganmu.