Jetlag. Mungkin itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi saya saat ini. Ya, pernikahan berumur dua minggu yang sedang saya jalani. Rasanya seperti terbang selama beberapa hari mengelilingi bumi lalu pesawat yang saya tumpangi berhenti di negeri antah berantah yang tidak saya kenal sedikitpun. Linglung pastinya. Tidak percaya bahwa satu kalimat yang diucapkan dalam beberapa detik telah mengubah status saya menjadi Ria yang lain : Nyonya.
Hampir tiap hari saya menangis di minggu pertama pernikahan karena tidak percaya status nyonya telah memberikan segudang tanggung jawab untuk saya jalani di hari-hari selanjutnya. Tuntutan menjadi istri sholihah, ibu yang baik, anak yang berbakti, menantu yang ideal, ipar yang penyayang, dan tuntutan-tuntutan sosial lainnya yang seketika membuat kepala saya mendadak berat. Belum lagi saya tersugesti oleh testimoni-testimoni beberapa teman yang terangkum dalam kalimat “welcome to the jungle!”. Mereka secara implisit seperti mengatakan bahwa pernikahan adalah segudang hal rumit berisi permasalahan-permasalahan yang tidak akan pernah selesai.
Tapi beruntung saya menjalani ini bersama seorang ‘teman’ SMA yang akhirnya jadi suami. Kami tetap berteman, dalam arti dia tetap memberi ruang bagi saya untuk tetap menjadi diri sendiri, untuk berdiskusi, dan mengambil keputusan sendiri meskipun terkadang dia geleng-geleng kepala melihat sikap keras kepala dan mau menang sendiri yang sudah saya punya sejak bayi. Kami tetap berteman meskipun orang tua saya sangat sewot mengingatkan betapa seorang suami harus dihormati dengan panggilan ‘mas’ dan ‘sampeyan’. Kami tetap berteman meskipun saya dimarahi habis-habisan karena dia menyiapkan kopi sendiri dan -bahkan- mengambilkan makan untuk saya yang malas makan.
Kami menjalani satu minggu madu.
Minggu awal yang kata orang berisi hal-hal manis penuh kenangan. Mirip-miriplah dengan adegan Bintang dan Bastian di sitkom Tetangga Masa Gitu. Tapi belum sampai pada tahap pertengkaran antara Angel dan Mas Adi. Maka minggu kedua kami setelah minggu madu adalah minggu jauh. Ini adalah fase dimana kami harus kembali pada dunia masing-masing. Berada di provinsi yang berbeda untuk menjalani aktivitas kami. Berat ? Iya. Tapi ini yang harus kami jalani saat ini. Rasanya seperti episode lanjutan jetlag yang saya alami. Setelah merasa nyaman berada di negeri antah berantah, ternyata datang pesawat lain yang memaksa saya untuk terbang lagi selama berhari-hari dan kembali ke tempat asal saya.
Apapun itu. Kami tetap bersyukur dan menjaga komitmen untuk tetap saling percaya seperti yang sudah kami jalani sepuluh tahun ini. Perbedaan tempat tinggal di antara kami justru memberi ruang untuk menyelesaikan target kami. Dia dengan tesis yang belum kelar dan tugas barunya sebagai pendamping desa. Saya dengan tumpukan buku yang belum dibaca dan tulisan-tulisan yang masih sampai pada paragraf pertama. Kami sadar, ini baru dua langkah kecil dan kami harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tahapan kehidupan rumah tangga kami selanjutnya.
Ngomong-ngomong, apa kami terlihat bahagia di foto ini ?
Malang, 10 januari 2016