KABAR GEMBIRA ITU DATANG
Sungguh. Aku tidak pernah menyangka akan mendapat kesempatan untuk kembali belajar dunia sastra lagi. Setelah 3 tahun terjebak dalam tesis yang hampir membuatku depresi dan 5 tahun terjebak dalam rutinitas membosankan bernama pekerjaan, hidupku otomatis sudah jauh dari menulis. Tapi semangatku memang tidak pernah surut. Aku tetap menyimpan mimpi-mimpiku untuk jadi penulis. Aku menabung agar bisa menerbitkan buku sendiri, karena tidak pernah yakin tulisanku cukup berkualitas dan ada penerbit yang mau meliriknya.
Tabungan pertamaku menghasilkan buku pertamaku pada tahun 2013, kumpulan puisi “Ada Hujan Turun Pelan-Pelan”. Tabungan keduaku terpakai untuk mencetak buku keduaku pada tahun 2015 ini, kumpulan cerpen “Aku Mengenalnya Dalam Diam”. Buku keduaku terbit dengan perayaan sederhana. Aku mencoba untuk memperkenalkannya pada dunia dan aku tidak menyangka akan mendapat respon hangat dari teman-temanku.
BALI ADALAH SURGA, UNTUK ORANG-ORANG SEPERTI KITA
Itu adalah salah satu kalimat yang kutulis untuk temanku, Christyan AS. Seorang seniman muda bali yang dulu pernah menempuh kuliah pendidikan seni rupa di UM. Aku selalu iri pada dua tempat ini : Bali dan Jogja. Dua tempat ini seolah surga bagi orang-orang yang ingin berkarya. Atmosfer berkesenian yang seolah tidak ada habisnya. Tempat yang dipenuhi oleh orang-orang hebat hingga aku selalu bermimpi untuk bisa tinggal di dua tempat ini. Kalimat itu juga yang akhirnya merangkum semua kegiatanku selama mengikuti workshop ini. Aku dan teman-teman penulis dari malang disambut oleh panitia yang profesional. Panitia berusaha untuk menyediakan kebutuhan kami mulai dari akomodasi dan transportasi antar jemput dari terminal atau bandara. Acara yang diselenggarakan di Bentara Budaya Bali ini dimulai tepat waktu. Acara menarik dengan pemateri yang tidak pernah kubayangkan bisa bertemu dengannya : Budi Darma dan Gde Aryantha Soetama Beberapa kali karya Budi Darma terpilih dalam Cerpen Terbaik Pilihan Kompas, antara lain ‘Derabat’ (1999), ‘Mata Yang Indah’ (2001) dan “Laki-Laki Pemanggul Goni” (2013). Sedangkan kumpulan cerpen Aryantha, Mandi Api (Penerbit Buku Kompas, 2006) meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2006). Buku itu diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi Ordeal by Fire (2009) oleh Vern Cork. Dua cerpennya terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas (1993 dan 1994).
BUDI DARMA, SANG MAESTRO PENULIS NOVEL OLENKA
Materi pertama diberikan oleh Budi Darma yang memulai materi dengan memberikan contoh penulis dan gaya tulisannya. Aku mencoba merangkumnya sebagai berikut :
- Soeman HS, merupakan pelopor cerpenis di Indonesia. Kumpulan cerpennya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Gaya penulisannya lugas dan kocak.
- Edgar Allan Poe, adalah cerpenis dan penyair yang melankolis dengan atmosfer yang suram dan menakutkan. Cerpennya selalu pendek dan langsung menuju akhir cerita tanpa melantur. Ciri-ciri cerpennya adalah memberi efek teror, horor, nostalgia, kesedihan, sekaligus kegembiraan kepada pembaca sehingga ciri khasnya adalah kalimat pertama yang jelas, dan menggambarkan efek-efek tersebut. Cerpennya memberikan tekanan pada imajinasi, penemuan, dan orisinalitas.
- Somerset Maugham, adalah cerpenis dan novelis asal inggris yang suka berkelana ke Asia terutama India. Dia suka membaca sastra klasik timur tengah. Ciri-ciri cerpen Suman HS dan Somerset Maugham dapat diringkas sebagai berikut : singkat, judul menarik, plot berkembang dengan lancar, dan akhir cerpen menarik. Plot berbeda dengan cerita. Jika cerita adalah sebuah peristiwa yang diikuti oleh peristiwa lain, maka plot adalah cerita yang diikat oleh hukum sebab dan akibat. Karena itu, dalam menulis plot, pengarang dituntut untuk memiliki pola pikir sebab akibat.
- Soebagio Sastrowardoyo, adalah seorang esais, kritikus, cerpenis. Menurut Soebagio, penulis seharusnya memiliki bakat alam dan intelektualisme karena generasi tahun 1950an hanya menggantungkan ceritanya pada bakat alam yang dimiliki. Jadi ketika cerita berdasarkan pengalaman pribadinya telah habis diceritakan, maka dia masih memiliki intelektualisme untuk memunculkan ide-ide baru.
- Stephen King, adalah penulis novel horor dari Amerika. Dia menulis buku non-fiksi On Writing yang mengatakan bahwa “most books about writing are full of bullshit”. Menurutnya buku tentang bagaimana cara menulis itu tidak penting, tapi pengalaman yang “mendebarkan” lah yang lebih penting. Kaum behavorist menganggap bahwa jika ingin menjadi penulis, seseorang bisa dikondisikan untuk menjadi penulis.
Berbeda dengan Budi Darma, Aryantha menyampaikan materi dengan sangat singkat. Aryantha menyampaikan materi dengan dua pertanyaan : apa dan bagaimana. Apa yang pertama kali harus dilakukan oleh seorang penulis adalah berkelana. Baik secara jiwa, khayalan, maupun melakukan pengembaraan secara jiwa dan raga. Setelah berkelana, pertanyaan kedua adalah bagaimana kita menuliskan apa yang sudah kita hasilkan dari pengembaraan kita selama ini. Bisa dalam bentuk berita, feature, esai, artikel, puisi, prosa, ataukah cerpen. tergantung bagaimana kita mengolahnya menjadi sebuah cerita. Aryantha lalu memberikan contoh tentang Teori Gelembung. Istilah populernya adalah mind mapping. Aryantha memberi contoh dengan membuat gelembung utama berupa Pantai Sanur sebagai awal ide. Pantai sanur itu dapat dikembangkan lagi menjadi gelembung-gelembung ide kecil yang akan menjadi kata kunci untuk mengembangkan cerita. Contoh teori gelembung ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Aryantha memberikan tips-tips dalam membuat cerpen. Pertama, cerita kita harus unik dan otentik. Kita harus belajar membuat ide-ide cerita yang tidak biasa. Jangan lupa untuk tetap menjadi diri sendiri. Aryantha juga menyebutkan bahwa setiap cerita mempunyai wibawa yang tercermin dari wibawa setiap kata dan setiap kalimat. Jadi, jangan terlalu bertele-tele. Kita harus bisa menulis dengan melakukan efisiensi kata dengan meletakkan kata hubung (seperti kata : dan, dengan, yang) pada struktur kalimat yang tepat. Menulis cerita pendek seharusnya memang hanya memiliki satu fokus cerita. Penting juga untuk lebih mengeksplorasi satu tokoh saja karena cerpen tidak sama dengan novel yang bisa mengeksporasi karakter banyak tokoh.
Kedua, benang merah dalam cerita adalah hal yang harus ada. Benang merah merupakan sebuah pengikat keutuhan cerita mulai dari paragraf pembuka hingga akhir cerita. Benang merah juga bertujuan untuk mempertajam rasa dan memperdalam kesan cerita yang akan didapatkan oleh pembaca sehingga pada akhirnya pembaca akan selalu teringat akan cerita kita.
MYRNA RATNA, KEPALA DESK KOMPAS MINGGU
Dua narasumber telah menyampaikan materi. Giliran Myrna Ratna yang memberikan sedikit informasi ketika sesi tanya jawab tiba. Salah seorang peserta bertanya mengapa sulit sekali untuk bisa dimuat di cerpen kompas. Myrna menjelaskan evolusi cerpen kompas mulai dari tahun 1967 sampai sekarang. Kompas memang salah satu harian yang memberikan perhatian khusus untuk cerpen. Termasuk dengan terbitnya buku kumcer pilihan kompas tiap tahunnya. Kompas juga memberikan ruang penting bagi peran ilustrasi dalam setiap cerpen yang dimuat tiap minggu. Myrna juga menjelaskan secara statistik mengenai jumlah pengirim cerpen kompas yang selalu meningkat setiap tahun. Pada tahun 2014, tercatat lebih dari 5.000 judul cerpen yang masuk ke redaksi padahal setiap tahun hanya sekitar 50 judul cerpen yang dimuat.
OBSERVASI DAN MENCARI INSPIRASI DI PANTAI SANUR
Sesi materi telah selesai. Setelah istirahat makan siang, kami menuju sesi selanjutnya, yaitu sesi observasi dan mencari inspirasi. Pada awalnya panitia menetapkan lokasi observasi di Pasar Guwang, tapi pada siang hari panitia memutuskan untuk mengubah lokasi observasi di Pantai Sanur yang berjarak tempuh sekitar 15 menit dari Bentara Budaya Bali. Ketika aku mengetahui bahwa observasi diubah di Pantai Sanur, aku benar-benar kegirangan. Selain karena aku termasuk salah satu penggemar berat pantai, alasan lainnya adalah aku kurang bisa mengeksplorasi pasar karena beberapa hal : aku jarang pergi ke pasar karena paling payah dalam hal tawar-menawar, aku khawatir agenda observasi akan berubah menjadi agenda membeli oleh-oleh, dan aku khawatir perbedaan budaya akan menyebabkan tulisanku tentang pasar tidak akan sedalam peserta lainnya yang telah mengetahui kondisi bali di kehidupan mereka sehari-hari.
Sekembalinya kami dari pantai Sanur, Panitia membagi kami menjadi 8 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 5 orang. Panitia memberikan waktu kepada kami untuk menulis cerpen selama 1 jam. Panitia tidak menuntut kami untuk menyelesaikan cerpen. Bisa saja berupa satu atau dua paragraf awal saja. Aku tidak bisa menulis dengan suasana seformal ini. Kondisi ruangan yang sepi dan setiap peserta yang sibuk dengan laptopnya masing-masing membuatku tidak nyaman. Rasanya seperti sedang mengikuti ujian masuk sebuah instansi. Aku tidak bisa berkonsentrasi dan hanya mampu menulis 3 paragraf.
Setelah waktu menulis yang ditentukan oleh panitia telah habis, Setiap kelompok memilih satu cerpen yang dianggap baik dan bisa dipresentasikan di depan. Tiap kelompok mendapat giliran untuk presentasi dan kelompok lainnya akan mengomentari. Budi Darma dan Gde Aryantha juga ikut memberikan komentar dan saran di akhir presentasi tiap kelompok. Pada sesi ini, kami belajar untuk berani memberikan komentar atas karya orang lain meskipun mungkin karya pemberi komentar belum tentu lebih bagus dari karya yang diberi komentar. Aku juga belajar lebih berani berbicara dalam sebuah forum.
MALAM RENUNGAN KEBUDAYAAN OLEH BUDI DARMA
Sebagai rangkaian acara workshop menulis cerpen kompas, Bentara Budaya Bali menyelenggarakan acara renungan kebudayaan bersama Budi Darma pada malam setelah workhshop selesai. Acara dibuka dengan lagu yang dibawakan oleh penyanyi suprano bali dan pemain gitar klasik. Setelah itu dilanjutkan dengan Budi Darma yang membacakan esai kebudayaannya. Acara dilanjutkan dengan pembacaan salah satu cerpen Budi Darma oleh seniman Abu Bakar. Acara ditutup dengan lagu “Kehilangan” oleh penyanyi suprano bali dan pemain gitar klasik yang tampil saat pembukaan
BELAJAR MENEMUKAN DIRI DI SETIAP CERITA
Sehari sebelumnya, aku menamatkan buku kumcer pilihan kompas tahun 2013 yang dibagikan gratis kepada setiap peserta. Aku merasa kacau ketika membayangkan aku tidak bisa menulis seperti penulis di buku itu. Apalagi setelah mendapatkan materi dari dua penulis besar di Indonesia. Aku seperti bingung dengan diriku sendiri. Aku memang pernah berusaha mencoba membuat cerpen dengan bahasa yang lugas. Tapi ketika cerpen itu selesai, aku merasa tidak mendapatkan diriku disana. Aku seperti kehilangan ciri khas dalam menulis cerita yang -kata orang- agak membosankan dan terlalu puitis ala prosa liris. Aku curhat pada seorang teman tentang masalah ini. Maklum, atmosfir menggebu-gebu selama workshop membuatku berfikir tentang ‘standar’ sebuah koran dan menilai karyaku sebagai sebuah karya yang tidak pantas berada disana. Setelah berpikir panjang dan berdiskusi dengan beberapa teman, aku memutuskan satu hal. Aku akan tetap menjadi diri sendiri, dengan bahasa cerpen yang amburadul, dengan tema-tema ringan dan klise ala drama, dengan cara berfikir yang mungkin biasa saja, asalkan aku tetap bahagia karena aku bisa menulis tanpa sebuah beban untuk menjadi seperti orang lain atau tanpa beban untuk mengikuti standar ala media apapun. Aku bertekad untuk mencintai setiap cerita yang kutulis. Menikmati setiap kata didalamnya karena cerita itu kutulis dengan segenap cinta di dalam hati.
Dan akhirnya, apapun itu, aku bahagia atas kesempatan ini.
Terima kasih, Tuhan.