Kata orang, aku penari.
Itu kata-kata yang aku ingat ketika pertama kali mulai membuka mata. Aku penari. Kata itu seakan menjadi mantra bagiku. Semacam ritual kata yang terus-menerus dihembuskan semenjak aku membuka mata, mengedipkan mata bahkan sampai menutup mata kembali. Kekuatan magis muncul dari ritual harianku tanpa disadari, yang membuatku merasa bertanggung jawab untuk terus menari. Berlaku selayaknya penari berselendang merah menyala dengan bibir tipis merona yang tertarik ke ujung.
Aku penari.
Aku menari diatas daun. Aku menari diatas bunga. Aku menari diatas dahan. Aku menari diatas air. Aku menari diatas tanah kering. Aku menari di udara basah. Menari dengan gerakan indah yang telah kupelajari selama bertahun-tahun. Bisa dikatakan aku ahli dalam tarian ini. Setiap gerakan tangan aku lakukan dengan sempurna. Setiap langkah kaki terangkai anggun dalam setiap perubahan gerak lagu. Ketika aku menari, dunia berada dibawah mata hitamku.
Kemudian datang sekelompok bangsa yang mengatakan bahwa tarianku tidak indah. Serta merta bersama cacian yang ditujukan padaku, mereka menduduki tempatku menari seolah-olah itu adalah toilet mereka. Memberi tanda disetiap sudutnya dengan tanda garis berputar. Aku menyingkir, berusaha mencari tempat menari dimana aku bisa menari dengan selendang merahku. Menari untuk kesekian ratus hari dibawah matahari terik.
Kemudian datang sekelompok lainnya, dengan raut wajah yang tidak jauh beda dengan kelompok pertama, mereka kembali mengusirku dari tempat menari. Bahkan mereka berani memainkan selendang merahku untuk kelakar murahan mereka. Aku tertunduk sedih, menyingkir dan berusaha mencari tempat baru untuk kembali menari.
Aku kembali menari.
Kali ini dengan gerakan yang tidak lagi anggun. Menari diantara bening mata air yang tercipta dari kedua bola hitamku. Hingga datang seseorang berselendang serupa selendangku, menatap raut wajahku sebagaimana menatap seseorang yang begitu lama dikenalnya.
”Aku Penari”, kata dia tiba-tiba tanpa kutanya.
Entah mengapa kebingungan kali ini tak berkawan denganku. Serta merta aku mendekat dan menyentuh selendangnya lembut. Ah, baru kali ini aku menemukan seseorang yang serupa denganku. Seseorang yang diciptakan untuk menari. Aku memandang sebentuk tubuh dihadapanku.
”Mari menari bersamaku, kau tidak perlu cemas dengan akhir tarianmu, aku yakin kau bisa menyelesaikan semua ini dengan anggun”, dia mengatakannya sembari memandangku dengan senyum lurus.
Seakan mengerti kata yang tidak meluncur dari bibir kami berdua, aku mengikutinya berjalan menuju satu daun baru yang tidak pernah aku singgahi. Aku mulai memandang daun baruku. Ada aroma harum yang membuatku ingin menari. Perlahan aku menyentuh selendang yang tidak pernah lepas dari pinggang rampingku, mengangkatnya perlahan seraya menutup mata untuk mendengarkan alunan musik alam yang berhembus pelan. Mulailah aku menggerakkan kakiku dengan anggun. Ketika aku kembali membuka mata, seseorang yang juga diciptakan untuk menari itu berada tepat di depanku. Mengangkat selendangnya dengan tersenyum dan mengikuti gerakanku dengan gerakan yang tidak kalah anggun. Aku tersenyum untuknya dan kembali menari dengan gerakan lembut yang semakin bersemangat. Tempo musik alam yang tercipta tiba-tiba berubah menjadi cepat. Membuatku mempercepat gerak tari tubuhku. Kali ini aku menari sebagaimana sebuah arwah penasaran menghinggapi tubuh kecilku. Menggerakkan selendangku serupa mengipasi pohon jati yang gerah karena kemarau menyerang. Langkahku tak lagi anggun, tapi cepat dan menjejak apa yang ada di bawahku.
Aku Menari.
Aku memang menari kembali, dengan cara yang berbeda, dengan tempat yang berbeda. Aku menari diatas air yang menjadi tanah. Aku menari diatas tanah yang menjadi udara. Aku menari diatas udara yang menjadi air. Hingga terlelah, aku tetap menari. Aku menari didalam air. Aku menari di dalam udara. Aku menari didalam tanah.
Malang(Kampung-28-an), 28 Oktober 2008