Setelah menghabiskan masa-masa sekolah menengah di pesantren, rasanya kebebasan begitu saya rindukan. Maka ketika saya mulai berkuliah di Malang, seolah-olah saya berusaha menyembunyikan identitas dan latar belakang saya sebagai santri. Mengapa ? Karena saat itu pesantren identik dengan sesuatu yang ‘ndeso dan tidak keren’.
Selain itu, ketika saya menjelaskan kalau saya adalah alumni pesantren, hampir semua orang yang saya beri tahu mengaku tidak percaya. Mereka tidak percaya karena penampilan saya yang cenderung tomboi dan tidak khas pesantren. Apalagi kelakuan saya juga tidak seperti “anak yang pernah mondok”.
Saya selalu malu mengaku sebagai alumni pesantren. Malu karena keilmuan agama saya di bawah rata-rata alumni pesantren lainnya. Bahasa arab yang hanya paham pada tingkatan “na’am”. Yang lalu mengucap ‘amin’ sambil menengadahkan tangan saat ada mahasiswa Libya berbahasa arab ketika berkonsultasi tentang tesisnya dengan salah satu dosen di UIN. Jangan tanya masalah nahwu sorof, mungkin saya hanya akan mangap sambil ngelap iler. Jangan tanya juga masalah fiqih. Karena biasanya saya cuma mengikuti akun instagram fiqih dan mengandalkan bertanya pada orang-orang ahli di UIN. Intinya, keilmuan saya cetek lah.
Karena ingin merasakan aura kebebasan yang paripurna, maka selama kuliah saya berhenti membaca buku-buku agama. Ada rasa penasaran terhadap banyak hal. Jadi saya mulai melahap banyak buku-buku dan meminggirkan kitab-kitab yang saya pelajari selama di pesantren. Saya juga mengikuti acara-acara diskusi, konser musik, seminar di kampus dan mulai menganggap pengajian sebagai hal membosankan karena sudah saya ikuti hampir setiap hari selama 6 tahun.
Saya mulai menganggap tradisi pesantren sebagai tradisi feodal. Seseorang mengajarkan saya untuk berdiri tegak dengan gestur percaya diri. Lalu bersalaman dan menggenggam tangan sambil menatap mata lawan bicara kita dengan yakin. Semenjak saat itu saya menganggap mencium tangan orang lain (kecuali orang tua) adalah hal yang sudah ketinggalan jaman. Belum lagi tradisi berlutut lalu duduk lesehan yang membuat kita terlihat seperti hamba sahaya.
Lalu saya menikah dengannya. Seseorang yang sifat-sifatnya sebelas dua belas dengan ayah saya. Kebetulan kami satu kelas saat SMA. Ya, sekalipun di pesantren, waktu itu ada kelas campuran untuk siswa yang memilih jurusan IPS. Karena hampir sebagian besar dari teman seangkatan kami memilih jurusan IPA. Saat itu siswa IPS hanya 25 orang sehingga kami ditempatkan dalam satu kelas dengan formasi 10 siswa laki-laki dan 15 siswa perempuan.
Sebelum menikah, dia mengajak saya sowan ke kyai di asrama tempat dia mondok dulu. Padahal, sekalipun rumah saya masih satu kota dengan pesantren ini, saya sangat jarang nyambangi pesantren. Saya iyakan saja agar dia senang. Kami menunggu tidak terlalu lama, sebelum pak kyai dan bu nyai muncul untuk meladeni kunjungan. Beliau berdua menanyakan kabar orang tuanya sambil menasehati kami dan memberikan kami doa. Beliau berdua langsung ingat padanya. Bukan, bukan karena dia santri teladan. Justru karena sebaliknya.
Dan ditengah obrolan kami, untuk pertama kalinya, saya lihat dia menangis. Ini terjadi berulang kali selama kami sowan ke sana beberapa kali. Ketika kutanyakan mengapa, dia berkata padaku bahwa dia menyesal, dulu telah diberi kesempatan emas untuk belajar di pesantren tapi justru sering bolos mengaji. Sementara sekarang dia harus bertanggung jawab menjadi imam dalam keluarga kecil kami. Dan dia merasa belum pantas untuk itu.
Pagi Idul Fitri hari ke 2, dia mengajak saya sowan lagi. Terakhir kali dia mengajak sowan beberapa bulan lalu, dia berangkat sendiri karena saya ngantuk dan malas berangkat. Meski akhirnya dia juga tidak bisa bertemu karena beliau sedang umroh. Pagi tadi, saya berangkat dengan perasaan senang karena semalam tidur lebih cepat. Kami menunggu tidak lama karena bu nyai menyambut kehadiran kami. Sambil menunggu pak yai selesai dipijat, kami mengobrol masalah kehamilan. Tentang saudaranya yang belum dikaruniai anak selama bertahun-tahun. Tentang saudaranya yang lain yang keguguran dua kali karena virus. Tentang saudaranya yang lain yang mencarikan istri baru untuk suaminya agar suaminya bisa memiliki keturunan. Lalu ketika suaminya meninggal, dia memberikan kesempatan pada istri muda suaminya untuk melanjutkan kuliah magister sementara dia merawat anak mereka.
Obrolan kami terhenti karena mulai banyak orang yang berdatangan. Hari ini memang jadwal open house di pesantren. Guru-guru dari berbagai unit berkeliling untuk sowan ke setiap asrama. Saya nyempil di antara mereka. Raut wajah bahagia. Ketulusan dan sikap tawadhu yang tidak pernah saya punya. Mereka punya itu semua. Bu nyai mulai menyorongkan toples-toples camilan dan memaksa kami semua untuk makan. Beliau juga mengeluarkan es lilin buatan sendiri untuk menyenangkan anak-anak guru-guru itu. Riuh ramai suasananya. Tapi rasanya saya benar-benar lupa kapan terakhir kali merasa damai seperti ini.
Hari ini, tanpa saya sadari, suami mengingatkan bahwa selama ini saya telah melupakan akar. Dengan angkuhnya, karena merasa telah ‘berilmu’ dan berada dalam posisi yang nyaman secara finansial, saya melupakan bahwa iman saya sedikit demi sedikit terkikis atas nama kepentingan dunia.
Dia, tanpa sadar, telah mengajarkan saya bahwa mencium tangan orang atau duduk lebih rendah dari orang lain tidak serta merta membuat kita terlihat rendah. Meminta nasehat dan bertanya pada orang lain tidak serta merta membuat kita terlihat lebih bodoh. Bersabar dan mengalah, tidak serta merta membuat kita kalah. Ada hal-hal tertentu yang menjadi misteri, bahwa terkadang banyak peristiwa terjadi di luar logika. Di luar pakem yang dibuat manusia.
Sepertinya saya mulai lupa, dunia tidak hanya digerakkan oleh sebuah sistem ‘formal’ yang mengedepankan cost-benefit. Ada orang-orang yang menghadapi dunia dengan ‘jurus mabuk’. Ada juga orang-orang yang menjalani hidup dengan ketulusan tanpa perlu analisis SWOT yang rumit. Ada orang-orang yang menganggap pencapaian kebahagiaan adalah dengan bersyukur atas kehidupan yang diberikan sampai hari ini.
Lalu untuk pertama kalinya, saya menangis tanpa sebab di depan beliau. Saya merasa keangkuhan saya selama ini membuat saya begitu rendah. Begitu rendah hingga saya merasa tidak pantas berada di depan beliau.