Ada satu hal yang tidak akan saya lupakan ketika melahirkan kemarin, yaitu : hubungan saya dan suami meningkat satu level dari sebelumnya. Barangkali benar, saya dan dia sama-sama keras kepala. Saya bertekad untuk melahirkan di Batang karena ingin didampingi oleh suami. Meski ibu saya menangis meminta saya melahirkan di Jombang agar beliau dapat merawat saya yang ‘tidak bisa apa-apa’ ini.
Tapi pendampingan suami menjadi poin penting dalam hubungan kami, karena di situlah ujian kami bersama untuk level berikutnya. Dalam kondisi lemah diinduksi, suami membersihkan kotoran dan mengganti baju saya, mendampingi sepanjang persalinan, merelakan dirinya untuk dipukul dan dijambak sepanjang kontraksi, serta menyuapi dan membuatkan teh hangat pasca melahirkan. Momen yang bagi dia tidak terlupakan adalah saat dia melihat secara langsung saya digunting, tidak bisa mengejan hingga hampir membahayakan si bayi, dan dijahit oleh bidan. Lalu saat dia pertama kalinya melihat bayi kami menangis dan mengadzani secara langsung. Itulah alasan mengapa saya memilih RS yang memerbolehkan pendamping masuk ke ruang bersalin, karena tidak semua RS mengijinkan. Saya merasa hubungan kami sudah tanpa sekat lagi karena kami bisa melewati momen ini bersama.
Pasca melahirkan, kami pulang ke rumah tanpa membawa adek bayi karena dia mesti menginap semalam untuk diobservasi. Baru keesokan harinya, kami bisa membawanya pulang. Begitu sampai rumah bersama si bayi, saya seperti orang linglung. Ada makhluk hidup baru yang jadi tanggung jawab kami. Saat itu saya tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Memandangi si bayi dan mencoba menyusui dengan tangan kaku karena tidak bisa menggendong. Sementara suami, dia mencuci semua pakaian dan perlengkapan bayi karena baru dibeli dan tidak sempat dicuci.
Praktis, kehadiran makhluk baru di antara kami berdua, ditambah dengan kurang tidur selama beberapa hari karena suami jadi ketua KPPS, membuat kami agak stres. Pada beberapa malam setelah melahirkan, saya tidak bisa tidur meski mata terpejam. Sakitnya saat diinduksi masih terbayang. Ditambah adanya bayi yang membuat saya selalu khawatir dia kelaparan atau sakit. Pada malam-malam itu, kadang saya masih tidak tega membangunkan suami yang kelelahan pasca pemilu, jadilah saya menggendong dan menyusui si bayi. Seperti kata orang, mulai matahari terbenam sampai pagi, si bayi akan rewel. Benar juga. Akhirnya semalaman saya melakukan aktivitas rutin : menyusui, mengganti popok, membersihkan ompol dan bab bayi, menyusui lagi, dst.
Sampai suatu ketika, tiba-tiba saya menangis tanpa sebab saat menyusui si bayi. Saya memandanginya sambil meminta maaf karena punya ibu seperti saya yang tidak bisa apa-apa. Ini terjadi beberapa kali. Lalu saya meratapi si bayi yang sedang tertidur dan saya duduk di kursi kecil di depannya sambil mengevaluasi diri. Kenapa si bayi bisa keluar sebelum waktunya. Mungkin ini kesalahan saya yang terlalu memaksakan diri bekerja dan kurang istirahat agar tenang selama masa cuti. Mungkin ini kesalahan saya karena kata orang ketuban pecah dini adalah ‘kembar kawah’ dimana itu adalah kesalahan si ibu yang suka mandi malam dan minum air es. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Dengan kondisi seperti itu, bahkan saya sempat berharap tidak bertemu orang lain karena saat itu saya mulai sadar, saya terkena gejala ‘baby blues’ yang akan bertambah parah kalau bertemu orang dan mereka akan berkomentar macam-macam.
Tapi ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Hari kelima setelah melahirkan, saya mulai membuat jadwal ketat agar bisa mengatur waktu seharian sehingga saya bisa cukup istirahat. Saya mulai membayangkan hal-hal menyenangkan. Misalnya, jika si bayi sudah agak besar, saya akan membawanya serta ke seminar atau konferensi seperti PM Selandia Baru. Atau saya membayangkan kami bertiga kemping ke Dieng. Atau mungkin piknik di pantai. Yang perlu saya lakukan saat ini adalah berfikir positif bahwa saya bisa melewati masa-masa ini dengan lancar. Si bayi akan bisa diajak bekerja sama. Dan suami akan selalu mendampingi. Orang lain adalah aktor figuran yang tidak perlu dirisaukan dalam hubungan kami. Cukup itu.
Maka di hari keenam, saya sudah mulai bisa membagi waktu. Saat si adek tidur, saya bisa menyalakan laptop bersebelahan dengan si bayi dan menyelesaikan beberapa tanggung jawab yang tertunda. Saya mulai membuat time schedule untuk beberapa bulan ke depan. Saya mulai semangat memompa ASI agar saat masa cuti sudah habis, saya bisa tetap memberinya ASI. Saya membuka media sosial dan grup chat untuk melihat apa yang terjadi di sana. Saya berulang kali mengucap syukur atas semua hal yang terjadi pada saya seminggu ini. Dan terpenting, mensyukuri kehadiran bayi mungil ini karena dia adalah anugerah sekaligus amanah. Karena kehadiran dia, semakin merekatkan hubungan kami berdua.