Topik tentang relationship saat ini memang masih tetap menarik untuk saya tulis. Karena ini untuk pertama kalinya saya menjalani sebuah hubungan yang dekat dengan seseorang selain ayah, ibu, dan adik perempuan saya. Hubungan dekat, baik secara fisik dan secara emosional yang membuat saya sempat terombang-ambing selama hampir 2 bulan dalam perasaan yang -entahlah ini apa- . Perasaan itu tentang kita dan jarak kita. Tanah yang membentang antara laut utara dan laut selatan pulau Jawa.
Kami menjalani LDM, long distance marriage. Istilah ini adalah modifikasi dari LDR. Kami melewati waktu seminggu bersama ketika cuti menikah di awal masa pernikahan. Selanjutnya, kami hanya bertemu saat akhir pekan. Kadang suami yang datang ke Jombang atau Malang. Kadang saya yang pulang ke Batang. Itu artinya kami harus menempuh perjalanan hampir 22 jam untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama selama kurang dari 48 jam.
Berat ? Pasti. Sebagai penggemar moda transportasi kereta api, bahkan saya sempat merasa bosan setiap kali kereta berangkat dari stasiun Malang. Berharap mempunyai ilmu yang bisa melipat bumi sehingga Malang-Batang bisa ditempuh hanya dalam hitungan menit. Tapi disitulah seninya berkereta. Saya jadi terbiasa mengatur waktu dan perbekalan selama perjalanan. Misalnya, saya harus makan malam ketika kereta sudah sampai stasiun Blitar. Atau saya harus tidur ketika kereta sudah sampai di stasiun Nganjuk dan harus bangun ketika kereta sudah sampai stasiun Semarang.
Belum lagi ketika akan pulang ke Malang, saya akan merengek-rengek di terminal karena tidak ingin pulang. Tapi dengan wajah datar, suami cuma tidak berkata-kata apapun. Selidik demi selidik, setelah saya interograsi, suami lega ketika saya pulang ke malang. Karena itu artinya dia punya waktu untuk kewajibannya yang lain setelah menyelesaikan kewajibannya sebagai suami. Awalnya saya tidak terima. Saya sedih berpisah, lha kok dia malah lega karena berpisah.
Sehari dua hari berpisah. Ganti saya yang cuek karena kesibukan di kantor ditambah dengan kegiatan setelah pulang kantor untuk membaca buku dan membaca celotehan emak-emak di grup Whats App. Biasanya, ganti suami yang tiba-tiba merasa kangen. Itupun setelah seharian beraktivitas di luar rumah. Jadi, tetap saja waktu kami berkomunikasi adalah saat-saat menjelang tidur setelah kami kelelahan beraktivitas seharian. Karena biasanya tidak sampai 15 menit kami sudah sama-sama mengantuk.
Terkadang saya merasa sedang menjalani hubungan yang aneh.
Tapi terkadang saya bahagia karena saya tetap mempunyai waktu untuk diri sendiri. Iya. Selama akhir pekan pertemuan kami, sekalipun saya sudah membawa buku kemana-mana, tetap saya tidak bisa membaca buku karena fokus saya sementara hanya untuk menghabiskan waktu berdua. Saya bahagia karena saya juga bisa memberi waktu kepada suami untuk melakukan kewajiban-kewajibannya yang lain. Karena selama kami bersama, biasanya saya ogah ditinggal lama. Sukanya ngikut meskipun cuma belanja ke warung depan gang.
Saya bersyukur atas 7 bulan pernikahan kami. Jarak separuh pulau jawa telah membuat kami mulai belajar untuk fokus membagi waktu. Saya sekarang lebih fokus pada apa yang saya impikan. Target-target yang sempat terbelengkalai. Mimpi-mimpi yang tersingkir oleh banyaknya kata tidak mungkin. Semua mulai saya tata lagi dalam daftar panjang buku harian. Karena saya yakin, ada seseorang yang tetap disamping saya untuk mendukung mimpi-mimpi kami. Bersama. Berdua.