Lain Waktu.
Ritual sore di Coffee Corner, adalah aku dan satu gelas teh hangat, tidak lagi satu gelas kopi. Dulu aku bersikeras mengatakan bahwa minuman paling hangat adalah kopi. Namun, kau katakan bahwa kopi hanya cocok untuk pembicaraan berat, diantara pikiran-pikiran kalut dan asap rokok orang-orang hebat. Kau katakan juga, pertemuan kita berbeda. Cukup hanya bertanya kabar, hal paling basi dalam pembicaraan antar manusia. Jadi, ketika bertemu kau katakan sebaiknya kita memesan teh hangat. Teh akan membuat suasana hangat untuk dapat berbicara tentang sesuatu yang ringan, begitu argumenmu saat itu.
“Bahagia itu sederhana, Rudi”, katamu tiba-tiba ketika aku masih bersikeras memesan kopi jika kau memaksaku memesan teh hangat.
“Bahagia adalah ketika kita melihat hujan turun pelan-pelan, menikmati sampai ia reda hingga tidak bersisa. Bahagia adalah ketika kita masih bisa memesan teh hangat di antara senja sembari berbicara tentang hal kecil yang terkadang tidak penting. Bahagia adalah ketika kita melihat orang di depan kita berbicara dengan berapi-api tentang kisahnya tanpa memberi kita jeda untuk sedikitpun menanggapi. Bahagia adalah bagaimana kita memandang kehidupan ini sebagai sebuah garis lurus, aku yang berada di satu sisi ujung garis, dan kau yang berada di ujung garis lainnya.“
Abstrak. Itu memang ciri khasmu. Dan seperti biasa, aku hanya bisa terdiam, mencerna kata-katamu yang bagiku di luar jangkauan kapasitas otakku. Setelah itu menit-menit selanjutnya adalah sama. Kita dan diam yang serupa emas imitasi.
Kemudian kau akan menanyakan apakah aku baik-baik saja, sembari melirik rokokku yang kadang-kadang berganti merk. Pertanyaan kedua adalah kabar istriku dan pernikahan kami yang berjalan tiga bulan ini. Serupa pertanyaan basi yang biasa, dan aku akan menjawabnya dengan serupa jawaban basi yang biasa. Kau, seperti pula aku, sama-sama menyadari bahwa kita tiba-tiba merubah diri menjadi orang paling naif sedunia dalam hitungan detik.
Dua setengah jam berlalu. Durasi yang akurat untuk setiap pertemuan kita. Kau menghabiskan teh hangatmu hingga tersisa seperempat, lalu berpamitan dengan santun.
“ Terima kasih untuk waktumu, Rudi ”, katamu pelan, sembari berdiri dan berjalan penuh kepastian menuju pintu utama Coffee Corner.
Adegan selanjutnya adalah sama. Aku yang seorang diri dalam scene sore dengan sisa hujan. Kemudian aku akan memandang gelas minumanmu, menghabiskan seperempat teh hangat yang tersisa, dan menempelkan bibirku di bibir gelas, tempat sisa lipstikmu menempel nyata. Sekali lagi aku akan diam, tanpa tahu harus berbuat apa, hingga istriku menelepon dan bertanya tentang keberadaanku. Itulah akhir scene sore ini, adegan aku beranjak dari tempat dudukku dan kembali pada duniaku, dunia yang sebenarnya.
***
Lain Waktu. Kau datang dengan membawa sebuah buku. Kau membaca buku dihadapanku, sembari sesekali memandang lalu lintas padat jalanan Kayu Tangan di depan kafe ini. Aku menunggumu dalam diam selama hampir tiga puluh lima menit hingga kau mengalihkan pandangan dan tersenyum padaku.
“ Kau sudah datang, Rudi ?”, katamu dengan tersenyum tipis
“ Iya, aku didepanmu selama hampir setengah jam yang lalu”, sahutku cepat
“ Kau tahu buku apa yang kubaca ini ?”, tanyamu
Aku menggelengkan kepala, pelan namun pasti.
“Buku ini bercerita tentang dongeng cinderella dengan versi yang sama sekali berbeda. Cinderella yang tidak pernah percaya bahwa kehidupan selalu memiliki akhir bahagia seperti dalam dunia dongeng. Cinderella yang tidak pernah percaya pada adanya pangeran berkuda putih. Cinderella yang membuat sendiri kisahnya dan merubah setiap tokoh didalamnya sesuai keinginannya”.
Sekali lagi, kau berubah menjadi begitu abstrak bagiku. Kau tersenyum beberapa detik sembari memandang wajahku dengan tatapan beraura kelembutan. Lalu kau lanjutkan kata-katamu.
“Aku rasa, cinderella mirip denganku. Aku tidak pernah percaya pangeran berkuda putih hidup di dunia nyata”, katamu, masih dengan tidak mengalihkan tatapan lembutmu dari wajahku.
“Kalau cinta, apa kau tidak percaya juga?”, sambarku cepat
“Cinta, sama seperti pangeran berkuda putih, cuma ada di dunia dongeng. Dua-duanya abstrak, dua-duanya maya, terlalu rumit untuk dipikirkan. Membuang tenaga kita sia-sia. Ingatlah Rudi, realitas tidak pernah seindah dongeng. Dongeng mengemas semua cerita dengan aroma eufimisme.”
Baiklah. Selain abstrak, harus kuakui bahwa kau adalah salah satu perempuan cerdas yang pernah kau temui.
Dua setengah jam. Kota Malang telah beranjak petang. Setelah ini kau akan mengucapkan kalimat penutup yang sama.
“Terima kasih untuk waktumu, Rudi ”, katamu pelan, sembari berdiri dan berjalan penuh kepastian menuju pintu utama Coffee Corner.
Adegan selanjutnya tentu saja sama. Aku yang seorang diri dalam scene sore dengan sisa hujan. Kemudian aku akan memandang gelas minumanmu, menghabiskan seperempat teh hangat yang tersisa, dan menempelkan bibirku di bibir gelas, tempat sisa lipstikmu menempel nyata.
***
Lain waktu. Kau datang dengan kekusutanmu. Setelah pada siang harinya kau mengirimkan sebuah pesan pendek padaku, “segelas minuman di sore seperti biasa”, begitu tepatnya pesanmu. Dan seperti biasa, aku selalu datang tanpa pernah terlambat.
Wajah kusut. Rambut panjang yang kusut. Kemeja kerja yang kusut. Hatimu yang kalut. “Aku akan menikah bulan depan”, katamu di lain waktu itu. Tidak ada apa-apa di wajahmu. Hanya ekspresi datar seperti biasa.
“ Aku harap kamu datang, seperti aku datang di pernikahanmu dulu.”
Aku terhenyak. Udara dingin bulan September di kota Malang mendadak membuat tubuhku menggigil. Kau mengatakannya dengan dingin bahkan tanpa memandang mataku.
Kemudian adegan yang sama terulang. Pertanyaan tentang apakah aku baik-baik saja. Pertanyaan tentang istri dan pernikahanku. Ucapan “Terima kasih untuk waktumu, Rudi”. Seperempat sisa teh hangat yang kau tinggalkan. Seperempat sisa teh hangatmu yang aku habiskan, tepat di bekas lipstikmu. Dua setengah jam tepat. Telepon dari istriku, serta kepulanganku ke duniaku, dunia yang sebenarnya. Yang berbeda, hatiku mendadak kalut meski kemejaku tidak kusut.
***
Lain waktu. Ucapanmu terbukti. Sebuah pernikahan di akhir juni.
Kau dan pagi seolah saling melengkapi. Kau, dan segala keabstrakanmu, begitu anggun pagi ini. Gaunmu adalah kemarau teduh di sore hari, pengganti musim hujan yang terlalu lama mendominasi tahun ini. Kau cantik dalam balutan gaun putih kebiruan dengan lekuk-lekuk sederhana. Kau yang abstrak, memang selalu mempesona.
Pesta pernikahan dimulai, ketika aku datang bersama istriku. Prosesi suci telah dipersiapkan. Gereja telah sesak oleh tamu undangan. Pendeta mengucapkan ikrar, ketika kau dan seorang laki-laki yang tidak kukenal berdiri berhadapan. Kata-kata pendeta tiba-tiba terputus, ketika kau menoleh ke arahku dengan tatapan tidak peduli pada semua orang di ruangan ini. Kemudian kau berjalan pelan menuju tempatku berdiri dan berhenti tepat di depanku. Sembari sedikit mendongak, kau mengecup bibirku sebentar dan berkata dengan datar,
“Aku cuma tidak ingin ciuman pertamaku dicuri oleh seseorang yang tidak aku cintai“
Aku terhenyak. Gereja terhenyak. Waktu berhenti.
Adengan selanjutnya adalah sama. Kau berkata, “terima kasih untuk waktumu, Rudi”. Kemudian berjalan lambat menuju pintu keluar. Yang berbeda, kali ini aku melihatmu menghentikan sebuah taksi, tanpa ada yang menghentikan langkahmu.
Pesta selesai, walau belum dimulai.
*Cerpen ini dimuat di Ruang Scripta Radar Malang Hari Minggu Tanggal 21 September 2014
*Kirim tulisan berupa puisi, cerpen dan esai melalui email : sastra.radarmalang@gmail.com. Panjang cerpen 7.000-8.500 karakter. Esai 5.000-7.000 karakter. Jangan lupa cantumkan nomor rekening juga*