Laut dan Pilihan-Pilihan Kita

cerpen-radar-2
Pagi tanpa matahari adalah pagi tanpa puisi. Pada pagi tanpa matahari itu kita berjalan menyusuri pantai dalam diam yang mendominasi. Kita menempuh perjalanan selama dua jam untuk mencapai pantai ini. Satu pantai tersembunyi di selatan kota Malang.

Perjalanan ini adalah ideku. Aku ingin pergi ke pantai Tiga Warna ini setelah teman-teman backpackerku memposting foto hasil perjalanan mereka ke pantai ini. Pantai dengan paduan warna hijau, biru muda, dan biru tua ini memang pantai tersembunyi sehingga tidak terlalu banyak pengunjung. Pantai Tiga Warna memang berbeda dengan pantai Sendang Biru yang selalu ramai oleh perahu nelayan sekaligus tempat penyeberangan menuju cagar alam pulau Sempu. Dan seperti biasa, kau selalu menuruti ide-ideku dengan anggukan kepala tanpa banyak berbicara.

“Apa kau benar-benar ingin menikah denganku, Rani ?”

“Tentu saja. Apa lagi yang kita tunggu ?”

“Barangkali kau punya pendapat lain tentang rencana pernikahan kita”, ucapmu sambil berhenti dan duduk di atas pasir pantai ini.

Aku menghentikan langkahku. Mengikutimu dan duduk di atas pasir.

“Kau sudah kenal aku berapa tahun?”, tanyaku sambil memandang matamu.

Mata bundar yang selalu membuatku merasa nyaman.

“Lima tahun lebih.”

“Kau merasa yakin denganku?”

“Tentu saja. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.”

“Aku juga yakin denganmu.”

“Tapi aku seperti tidak melihat cinta di matamu”

“Kau kan tidak bisa melihat hatiku. Kau bisa saja tidak melihat cinta di mataku karena cinta itu bersembunyi di hatiku. Ayolah, kita bukan remaja belasan tahun. Jangan membicarakan cinta seperti kita sedang bermain drama korea”, kataku sambil beranjak dari dudukku.

Kita berjalan lagi. Pelan. Tanpa berkata-kata lagi. Aku mencoba membuat jejak kaki di atas pasir. Berhenti sejenak sambil membuat gambar-gambar tak beraturan dengan jari tanganku. Lalu berjalan lagi dari berbalik arah ke ujung lainnya. Aku memang menyukai laut. Laut adalah penyampai rindu yang selalu tepat waktu. Kalau kau sedang rindu pada seseorang, pergilah ke laut. Sampaikan rindumu pada ombak. Jangan khawatir, ombak akan membawa pesanmu. Rindumu akan bercampur buih. Lalu angin akan menyampaikan rindumu dengan menerbangkannya bersama ombak. Membuat rindumu bertemu dengan laut lainnya. Mengantarkan rindumu pada pasir di pantai tempat seseorang yang kau rindukan sedang tinggal.

“Ayo kita pulang. Semakin siang akan semakin banyak yang datang. Lagipula aku rasa sebentar lagi hujan akan turun”, ajakku. Kau mengangguk perlahan. Aku memandangi sejenak laut yang akan kutinggalkan kali ini. Laut adalah tempat yang selalu kusuka. Aku merasa memiliki nasib yang sama dengan laut. Laut hanya memiliki dua pilihan. Jika tidak melebur bersama samudera, laut harus menuju daratan. Menerjang karang dan membasahi ribuan pasir di pantai. Begitu pula denganku. Aku adalah seorang perempuan yang tidak istimewa. Perempuan dengan kecantikan di bawah rata-rata hingga aku yakin tidak pernah ada seseorang yang tertarik padaku pada pandangan pertama. Perempuan yang tidak percaya cinta karena cinta datang kepada mereka yang beruntung. Beruntung karena cantik. Beruntung karena nasib baik. Dan nampaknya aku tidak termasuk salah satunya.

Aku hanya memiliki dua pilihan jika akhirnya terjebak dalam romantisme drama bernama cinta : mencintai atau dicintai. Aku memilih menjadi yang kedua. Aku ingin dicintai. Percayalah, jatuh cinta hanya akan membuatmu terluka. Kau tahu, jika kau menjadi aku, kau akan selalu terluka karena mencintai seseorang. Aku bahkan sudah terluka, semenjak pertama kali jatuh cinta. Jatuh cinta diam-diam. Kemudian terluka diam-diam karena mencintai seseorang yang tidak pernah sekalipun mencintai kita. Dan itu membuatku benar-benar muak.

Pratama. Aku memanggilmu Tama. Kau datang di suatu hari, menawarkan sebuah cinta yang tidak pernah aku percaya. Butuh waktu lima tahun sampai akhirnya aku tidak lagi berdebat dan menyangkal sebuah kepercayaan absurd bernama cinta. Setidaknya, tidak berdebat secara langsung di depan Tama. Lima tahun setelah aku memutuskan untuk membebaskan kenangan menyakitkan. Tentang lelaki yang meninggalkanku karena alasan sangat logis, sebab aku tidak lebih berharga dari mimpi-mimpinya.

***

Dua bulan berlalu semenjak terakhir kali kami pergi ke pantai tiga warna. Kami memutuskan untuk menikah di bulan Juni. Juni yang tanpa hujan di bulan juni. Hujan tidak lagi turun di bulan Juni karena musim kemarau telah datang. Puisi Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni mungkin tidak lagi bisa kau temukan kali ini.

Aku bermimpi menikah di taman sebuah rumah mungil tanpa banyak orang yang datang. Aku hanya ingin sebuah pernikahan tanpa kebahagiaan berlebih. Tanpa banyak orang yang tahu bahwa aku sedang sedikit bahagia. Sama seperti mereka tidak tahu saat aku sedikit tidak bahagia. Tapi saat ini aku benar-benar tidak tahu apakah aku sedang bahagia atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah aku akan bahagia atau tidak. Kebahagiaan lama-lama bukan lagi hal yang penting untuk dibicarakan karena pernikahanku saat ini tidak lagi menjadi sebuah pilihan. Sebagian orang memang tidak mempunyai pilihan, ternyata akupun demikian.

Kau selalu paham tentang keanehanku ini. Kau tidak goyah. Kau selalu percaya diri dan mengatakan suatu saat aku akan tergila-gila padamu. Kau tidak akan menyerah sampai saat itu tiba. Dan aku terlalu malas untuk menanggapi ekspektasimu tentangku.

“Apa kau sudah menemukan taman untuk tempat pernikahan kita ?”, tanyamu ketika kita bertemu di rumahku.

“Sudah. Sebuah taman belakang sebuah villa di Kota Batu. Aku bahkan sudah membayar uang mukanya. Aku sudah membuat check list tentang semua persiapan pernikahan kita.”

“Aku tidak meragukan kemampuanmu mengelola acara, Rani. Apa lagi yang kau butuhkan ?”

“Aku punya satu permintaan.”

“Katakan saja. Aku akan berusaha memenuhinya.”

“Aku ingin bertemu dengan seseorang, sebelum kita hidup bersama”

“Dia?”, raut wajahmu menegang.

“Iya. Dia.”

Kau terdiam sejenak.

“Tentu saja. Kau tidak perlu meminta persetujuanku untuk hal itu. Aku percaya padamu. Selesaikan apa yang harus kamu selesaikan.”

Aku selalu terpukau pada pikiranmu yang selalu memandang dunia dari sudut positif. Sementara aku selalu berada di kutub negatif dalam memandang masalah di dunia ini. Aku mengirim surel padanya. Apa kita bisa bertemu?. Dia membalas surelku satu jam kemudian. Tentu saja. Besok sore di tempat kesukaan kita. Semoga kau masih ingat tempat itu. Aku tidak akan pernah lupa tempat itu, sebuah toko es krim tertua di Kota Malang. Aku mengiyakan surelnya. Aku menunggumu disana.

Aku sengaja datang lebih cepat dua jam dari janji yang kita sepakati. Ketika berperang, sebaiknya kita datang lebih awal untuk memetakan medan. Itu adalah salah satu dialog dalam film yang selalu kuingat. Aku tahu aku tidak sedang berperang. Tapi dia ibarat musuh yang harus selalu kuwaspadai. Aku terlalu gugup setelah lima tahun tidak pernah bertemu. Aku cuma tidak ingin terlihat konyol didepannya

Toko es krim ini tidak berubah. Kursi-kursi tua. Jendela dan kenangan yang sama. Aku memesan es krim cokelat kesukaanku. Dia tidak pernah suka es krim. Terlalu manis, begitu katanya. Ingatanku berputar dengan cepat. Adegan-adegan berkejaran di kepalaku. Tentang dia dan antusiasme ketika bercerita tentang keinginannya untuk keliling dunia. Sedangkan aku cuma jadi pendengar setia, tanpa pernah ditanya apakah aku bosan atau tidak mendengar ceritanya.

Satu setengah jam berlalu. Aku semakin ragu untuk kembali bertemu. Aku merobek satu lembar kertas dari buku harian kecilku yang selalu kubawa kemana-mana. Menuliskan beberapa kalimat. Aku akan menikah di bulan juni. Oiya, aku lupa belum bilang, aku jatuh cinta padamu. Aku melipat suratku dan meletakkannya di meja tempatku makan. Memanggil pelayan untuk membayar es krimku, dan memesan es krim cokelat-yang tidak pernah dia suka- sambil menitipkan pesan agar meja ini diberi tulisan reserved.

Lalu aku menyeberang jalan dan duduk di restoran tepat di depan Toko Es krim itu. Memilih kursi di ujung. Setengah jam kemudian, aku melihatnya berjalan kaki dan masuk ke toko itu. Kulihat dia berbicara pada pelayan yang mengantarkannya menuju meja yang telah kupesan. Dia membuka suratku di meja. Membacanya. Lalu kulihat dia membuka ponselnya dan mengetik sesuatu.

Tak lama setelah itu. Ponselku bergetar. Sebuah pemberitahuan ada pesan yang masuk di surelku. Kubuka perlahan. Itu pesan darimu. Wow, itu kabar mengejutkan. Sayang sekali kita tidak bisa bertemu. Padahal aku ingin mengenalkanmu pada calon istriku. Selamat atas pernikahanmu. Semoga Berbahagia.

Kulihat kau meremas suratku. Menatap es krim cokelat dihadapanmu dan memakannya pelan-pelan. Sendirian.

Ria AS. Telah menerbitkan kumpulan puisi Ada Hujan Turun Pelan-Pelan (2013) dan kumpulan cerpen Aku Mengenalnya Dalam Diam (2015)

*dimuat di Ruang Scripta Radar Malang Hari Minggu tanggal 31 Mei 2015

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *