Apa yang ada di pikiran anda ketika anda melihat empat perempuan muda tiba-tiba berada di antara laki-laki yang sedang bergerombol untuk menikmati kopi ? Pikiran pertama yang muncul adalah mereka single, yang kedua adalah sedang berada pada tahap open relationship dengan siapa saja, apalagi pada jam semalam ini masih berkeliaran dan memiliki tujuan ke tempat yang notabene menjadi tongkrongan laki-laki untuk menikmati malam minggu.
Sayang sekali, anda salah.
“Pernikahan adalah kompromi”, celetuk salah seorang yang lain lagi. Adalah menikah, ketika kita akan melepaskan definisi bahagia versi kita menjadi definisi bahagia versi semua orang. Bahagia melihat suami kita bahagia, melihat anak kita tertawa, melihat mertua bahagia, adalah definisi bahagia setelah menikah. Menikah adalah kompromi, tanpa peduli kita bahagia atau tidak.
Perempuan ketiga menyeletuk “Aku ingin menikah, agar orang tua ku tenang, anak bungsunya sudah menjadi tanggung jawab orang lain”
Perempuan terakhir berkata “Mulai dengan yang baru, sembari pelan-pelan menutup pintu yang lama”. Singkat dan terlihat mudah. Tapi begitu rumit.
Kalau saja kami belajar sedikit normal dengan bersikap seperti perempuan pada umumnya, maka kami akan memiliki pasangan dalam satu minggu ini. Kalau saja kami bertujuan untuk membuka diri, sudah barang tentu ajakan berkenalan sekelompok laki-laki di samping kami akan berujung pada pertukaran nomor ponsel. Kalau saja kami memilih untuk memulai dengan yang baru, kami tinggal menghubungi beberapa nomer yang menawarkan hubungan pada kami, maka kami akan memiliki pasangan.
Tapi ternyata tidak,
Memilih pasangan tidak secepat kursus bahasa inggris kilat.
Membuka diri tidak semudah mengganti tubuh dengan pakaian mode terbaru.