Film Kartini (2017) bukanlah film pertama tentang sosok ibu kita Kartini. Sudah ada dua film sebelumnya yang berjudul R.A. Kartini (1982) tentang perjuangan Kartini demi kesetaraan pendidikan dengan kaum laki-laki dan film kedua adalah Surat Cinta untuk Kartini (2016) tentang kisah fiksi tukang pos yang jatuh cinta dengan Kartini. Namun, pada film biopic Kartini (2017) ini memang berbeda dengan dua film sebelumnya karena mencoba menampilkan sisi lain Kartini muda yang energik dan memberontak.
Saya baru pertama kali menonton film Kartini di televisi pada tanggal 21 April 2018 sore. Malamnya, saya menonton film Kartini kedua kalinya saat menemani si mamas nonton dan diskusi bareng film Kartini bersama remaja-remaja di daerah Slamaran Kota Pekalongan. Dan, saya cukup kaget dengan penggambaran karakter Kartini di film Kartini (2017) ini. Dalam bayangan saya, sebagai seorang priyayi, Kartini pasti lemah lembut. Tapi di film ini, Kartini justru digambarkan sebagai sosok tomboi, tangguh, keras kepala, dan agak bandel. Jadilah saya punya persepsi baru yang mengasyikkan tentang sosok Kartini.
Film Kartini (2017) menceritakan tentang Kartini saat mulai masih kanak-kanak sampai dewasa. Diceritakan, Ibu Kartini, Ngasirah, merupakan istri pertama dari RM. Sosroningrat. Karena saat itu, untuk menjadi seorang Bupati, maka RM. Sosroningrat harus menikah lagi dengan keturunan Bangsawan. Jadilah RM. Sosroningrat terpaksa menikah dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah pernikahan tersebut, maka ayah Kartini resmi diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandungnya.
Sejak kecil, Kartini sudah memberontak. Salah satu pemberontakannya adalah Kartini menangis dan ngambek agar bisa tidur dengan Ibunya. Karena saat itu, istri resmi Bupati tinggal di rumah utama, sementara ibu kartini harus tinggal di rumah belakang bersama dengan asisten rumah tangga lainnya.
Waktu terus berjalan. Kartini beranjak remaja menjalani masa pingitan. Dalam masa pingitan tersebut, Kartini mendapatkan sebuah kunci lemari dari sang kakak, Sosrokartono. Ketika dibuka, lemari tersebut berisi dengan banyak buku yang telah dibaca sang kakak selama ini. Hal inilah yang membuat Kartini girang. Kartini kembali memberontak dengan Karena dengan membaca banyak buku, dia bisa tahu lebih banyak tentang dunia luar.
Film Kartini (2017) memvisualkan adegan Kartini membaca buku dengan imajinasi bahwa ketika membaca buku, kartini seperti berkeliling dunia dan bertemu dengan banyak orang hebat. Bahkan, adegan membaca surat dari sahabatnya di Belanda digambarkan seolah-olah Kartini bertemu langsung dan bercakap-cakap mesra dengannya. Ketika dua adiknya yaitu Kardinah dan Roekmini juga harus menjalani masa pingitan, saat itu Kartini seperti mendapat dua teman baru untuk mempelajari buku-buku tersebut.
Di Film ini, Kartini benar-benar digambarkan sebagai sosok yang tomboi dalam balutan Kebaya. Ada adegan dimana Kartini melakukan kebiasaannya untuk memanjat tembok rumah bersama dua adiknya. Sosok yang keras kepala tergambar ketika dia dilarang keluar oleh kakak laki-lakinya untuk mengirim surat dan tulisan, maka dia mencoba berbagai cara yang cerdas agar tetap bisa berkomunikasi dengan dunia luar.
Kartini juga digambarkan dengan sosok yang memiliki pikiran terbuka dan memiliki inovasi sehingga dia bisa melihat peluang tentang perdagangan mebel ukiran jepara yang selama ini sepi pembeli. Kartini dan adik-adiknya merupakan sosok yang ‘tangguh’. Bertiga, mereka mendatangi para pengrajin ukiran yang selama ini sepi pembeli untuk mengembangkan kerajinan ukiran Jepara. Hingga akhirnya para pengrajin ukiran Jepara menjadi banjir pembeli dan bisa meningkatkan kesejahteraan warga desa. Perjuangan lainnya, Kartini membuka sekolah bagi anak-anak pribumi dan mengajarkan baca tulis gratis untuk mereka. Kartini rutin mengirim tulisan yang dimuat pada salah satu kolom di majalah Belanda.
Tibalah saatnya, Kartini harus menjadi Raden Ajeng. Kartini mendapatkan lamaran dari bupati Rembang sahabat ayahnya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat yang ingin menjadikan Kartini sebagai istri ke-4. Raden Djojo Adiningrat dikenal sebagai pejabat yang mumpuni dan ia juga pernah belajar pertanian di Wageningen, Belanda. sehingga ia merupakan salah satu pejabat pribumi yang dianggap cukup modern.
Kartini menolak karena saat itu dia sedang menunggu balasan persetujuan dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan sekolah di sana. Konflik kembali terjadi. Bahkan, tidak hanya dipingit. Kartini dikurung di dalam kamarnya sendirian tanpa boleh pergi kemana-mana. Kartini melunak dan mulai berkompromi, setelah ayahnya jatuh sakit karena mendapat tekanan dari bangsawan-bangsawan lainnya akibat ulah Kartini yang menentang. Dan ibunya membongkar kayu yang dipasang di jendela kamar dan mengajaknya ke tepi danau untuk berbicara. Ibunya memberi Kartini nasihat dan mengingatkan tentang “Bakti”. Hal yang tidak diajarkan di buku-buku yang selama ini dibaca oleh Kartini.
Pada akhirnya, Kartini bersedia menikah dengan dengan bupati Rembang dengan mengajukan beberapa syarat. Pertama, Djojo Adiningrat menyetujui gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini soal kemajuan kaum perempuan. Kedua, Kartini diperbolehkan membuka sekolah di Rembang seperti yang telah dilakukannya di Jepara. Persyaratan lainnya mengena prosesi perkawinan dimana Kartini meminta untuk tidak ada upacara berlutut dan menyembah kaki mempelai pria. Selain itu, Kartini akan bicara dalam langgam ngoko (bahasa jawa keseharian) dengan suaminya. Sebagai simbol bahwa seorang istri adalah ‘teman sederajat’ dari suaminya. Persyaratan ini diterima oleh Djojo Adiningrat tanpa keberatan sama sekali. Bahkan sang bupati bercerita bahwa mendiang istrinya sangat mengidolakan Kartini dan berharap anak-anaknya bisa dididik oleh Kartini.
Hal yang menarik dari kisah Kartini di film ini adalah bahwa sebenarnya pribadi ayah Kartini yang sangat ‘lunak’, berpikiran lebih terbuka, dan mengerti keinginan-keinginan anak-anaknya meski pada akhirnya ayah Kartini harus menyerah dan mengikuti tradisi yang ada. Selain itu, Kartini mendapatkan suami yang juga berpikiran terbuka dan mengerti keinginan Kartini. Ini artinya, sebenarnya Kartini dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti dan mendukung apa yang dia inginkan. Namun, sistem saat itu yang terlalu kuat, membuat Kartini pada akhirnya harus mengikuti tradisi yang ada untuk menikah dan berpoligami. Serta membatalkan salah satu impiannya untuk mengenyam pendidikan di Belanda.
Hal menarik lainnya adalah Kartini tertarik untuk belajar tentang Al-Quran. Ada adegan dimana Kartini mengikuti pengajian yang diajarkan oleh Kyai Sholeh Darat. Saat itu, Kyai Sholeh Darat sedang menjelaskan makna surat Al- Fatihah dari kitab karangannya yang berbahasa Jawa. Kartini pun takjub dengan penjelasan makna surat yang belum pernah ia dengar sebelumnya sehingga pandangannya tentang Islam berubah. Bahkan, konon judul kumpulan surat-surat Kartini ” Habis Gelap Terbitlah Terang” berasal dari salah satu ayat favorit Kartini yaitu Al-Baqoroh ayat 257 yang berbunyi : Orang-orang Beriman Dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya.
Dari film ini, saya baru sadar, bahwa berbicara mengenai Kartini bukan hanya tentang peringatan rutin setiap tanggal 21 April dengan memakai kebaya dan bersanggul. Karena perjuangan Kartini yang sesungguhnya adalah perjuangan dan gagasan atas pembelaan hak-hak perempuan serta pendidikan untuk semua golongan. Dalam film ini, kita jadi lebih tahu bahwa Kartini memiliki pandangan jauh melampaui perempuan jawa di jamannya tentang adanya pendidikan dan akses yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Catatan : informasi tentang Kartini saya himpun dari berbagai sumber.
Film Kartini (2017)
- Produksi : Legacy Pictures dan Screenplay Films
- Genre : Drama
- Produser : Robert Ronny
- Sutradara : Hanung Bramantyo
- Penulis Skenario : Hanung Bramantyo dan Bagus Bramanti berdasarkan ide cerita Robert Ronny
- Pemeran : Dian Sastrowardoyo (Raden Adjeng Kartini), Neysa Chan (Raden Adjeng Kartini kecil), Deddy Sutomo (Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat), Christine Hakim (M.A. Ngasirah), Nova Eliza (M.A. Ngasirah Muda), Djenar Maesa Ayu (Raden Adjeng Moeriam), Acha Septriasa (Roekmini), Ayushita (Kardinah), Reza Rahadian (Sosrokartono), Adinia Wirasti (Soelastri), Denny Sumargo (Slamet), Dwi Sasono (Raden Adipati Joyodiningrat), Rianti Cartwright (Wilhelmina), Hans de Kraker (Ovink-Soer), Carmen van Rijnbach (Cecile de Jong), Rebecca Reijman (Stella Zeehandelaar)
- Tanggal liris : 19 April 2017
- Durasi : 122 menit