NU dan Kegembiran Muktamar di Jombang

muktamar-nu
Meskipun muktamar NU dilaksanakan di kota kecil tempat saya tinggal, saya tidak memiliki antusiasme untuk mengikuti perkembangannya. Karena bagi saya, dulu, NU tidak lebih hanya sekumpulan ibu-ibu berbaju hijau yang rajin pergi ke pengajian dan sikap tawadhu’ pada kyainya sering dimanfaatkan oleh politisi ketika pemilu tiba. Sementara saya adalah anggota ‘islam hore-hore’ yang lebih senang nonton film, baca buku, dan jalan-jalan di akhir pekan daripada mengikuti pengajian.

Tapi kemudian saya mencoba kembali ke fitrah. Apalagi setelah membaca Novel Kambing dan Hujan, saya seperti mendapat sedikit pencerahan. Saya putuskan untuk pulang dan ikut jadi saksi atas kegembiraan ribuan orang di Jombang. Agar kepulangan saya ke jombang tidak sia-sia, maka saya mendaftar side event muktamar di tambak beras, yaitu “Musyawarah Kaum Muda NU”. Saya juga mengiyakan ajakan Miqdam Yusria Ahmad yang begitu bersemangat ingin menyaksikan antusiasme penggembira muktamar pada malam pembukaan. Meski saya sangat heran mengapa orang-orang ini datang dari jauh hanya untuk menyaksikan keramaian muktamar padahal mereka bisa menyaksikannya di televisi. Iya, saya memang belum memiliki rasa cinta sedemikian besar pada organisasi islam terbesar di Indonesia ini.
Pagi hari pasca pembukaan, saya mengikuti Musyawarah Kaum Muda NU yang kelihatannya sedikit tidak terorganisir dengan baik. Panitia terlihat memiliki kesulitan setelah peserta yang diperkirakan hanya 100 orang telah membludak menjadi 1.800 pendaftar. Kemudahan untuk mendaftar lewat online mungkin salah satu penyebabnya. Padahal kondisi tempat yang ada tidak memungkinkan untuk menampung banyaknya peserta musyawarah. Begitupun ruangan yang dipakai untuk pleno yang sempit dan minim fasilitas. Saya dijadwal untuk membantu menjadi notulen cadangan tapi kemudian saya memutuskan pulang setelah memastikan tenaga saya tidak begitu dibutuhkan.
Justru kemudian saya mendapatkan pelajaran ketika saya berkeliling untuk jalan-jalan.
Betapa ya, NU ditingkat akar rumput begitu dicintai oleh banyak orang. Saya mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang nekat berangkat meskipun tidak memiliki uang. Mereka tidur di emperan toko, mushola, dan rumah-rumah penduduk. Ada juga dua mahasiswa yang awalnya nekat datang ke jombang untuk mengikuti musyawarah kaum muda NU tapi beralih peran menjadi penjaga stand penjualan sarung NU. Ada juga ibu separuh baya yang datang dari Garut untuk berjualan makanan (sumpah, sambalnya enak sekali). Ada juga lelaki tua yang tersesat dan tertinggal rombongan tapi kemudian bisa kembali ke rumah dengan selamat setelah menumpang pulang bersama rombongan lain. Peristiwa-peristiwa yang saya amati ini semakin menegaskan bahwa, seperti kata mereka, saya hanyalah salah seorang kelas menengah manja yang cuma makan dan mencerna isu-isu di medsos, tidak pernah terjun ke lapangan, dan cuma mengandalkan pergerakan jari-jari tangan untuk mengetik tanpa perlu mengotori sepatu saya dengan lumpur.
Saya malu sekaligus takjub. Bagaimana bisa sebuah ormas memiliki anggota-anggota yang melakukan apapun agar NU tetap hidup. Sementara saya tahu sendiri bagaimana sulitnya mempertahankan loyalitas dan konsistensi dalam berorganisasi ataupun berkomunitas. Saya bertekad memulai satu babak dalam hidup saya : belajar memahami NU.
Maka saya menjauh dari keramaian dan kegembiraan muktamar. Menyalakan TV. Membaca buku ini sambil menonton kericuhan muktamar yang penuh dengan kepentingan politik. Ah, lingkaran setan itu ternyata belum juga berakhir.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *