Setelah membaca The Geography of Bliss, saya berusaha mencari buku lain yang ditulis oleh Eric Weiner. Ketika membaca judulnya, sejujurnya saya merasa ragu dengan isi buku ini. Mengingat kepercayaan adalah hal yang subyektif sekaligus sensitif. Tidak seperti topik kebahagiaan dalam buku The Geography of Bliss yang rasanya semua orang akan mencarinya. Kepercayaan, bagi sebagian orang adalah hal yang final dan tidak perlu dipertanyakan maupun dibahas. Apalagi, pada sampul belakang buku The Geography of Faith disebutkan bahwa Weiner telah memutuskan untuk mengeksplorasi delapan aliran kepercayaan yang telah diseleksinya dengan ketat. Akan jadi seperti apa buku ini ?
Saya penasaran dengan kriteria penyeleksian yang dilakukan Weiner. Apa dia tahu ada ratusan aliran-aliran kepercayaan lokal di Indonesia? Barangkali jumlahnya mencapai ribuan jika digabungkan dengan berbagai aliran kepercayaan di Dunia. Lalu seperti apa kriteria penyeleksiannya? Apa berdasarkan kedekatan dengan pengetahuan pribadi Weiner atau berdasarkan pertimbangan sebaran tempat yang akan dikunjungi dan biaya yang dibutuhkan, mengingat ini adalah salah satu jenis buku catatan perjalanan.
Dari berbagai aliran kepercayaan itu, Weiner mengambil 8 aliran kepercayaan yang diwakili oleh sebuah irisan / ordo dari aliran. Nampaknya Weiner ingin menekankan bahwa perjalanan ini adalah perjalanan spiritual bukan perjalanan religius. Weiner menjelajahi satu persatu aliran mulai dari Sufisme dalam islam, Budha, Katolik Fransiskan, Raelisme, Taoisme, Wicca, Syamanisme, dan Kaballah.
Eric Weiner lahir dari keluarga Sekuler di negara sekuler dan menjadi koresponden sebuah stasiun berita membuatnya menjadi confusionist, satu aliran yang dia buat sendiri untuk mengambarkan kebingungannya pada banyak tuhan dan banyak agama. Bagi Eric Weiner, Agama memiliki cita-cita luhur, tetapi sering kehilangan nilai-nilai ideal mereka (hal.33). Ada 9.900 agama di dunia ini dengan dua atau tiga agama baru yang muncul setiap hari (hal. 29), dan Eric Weiner memilih 8 agama berdasarkan teori pilihan rasional yang akhirnya menjadi subbab dalam buku The Geography of Faith.
Perjalanan The Geography of Faith dimulai Eric Weiner ketika terbaring sakit di Instalasi Gawat Darurat, dan seorang dokter mendekatinya sambil berbisik : Sudahkah kau menemukan Tuhanmu ?. Pertanyaan itu terus-menerus bergema di kepala Weiner yang terlahir sebagai seorang Yahudi namun tidak pernah peduli apakah Tuhan benar-benar ada. Weiner menyebut dirinya “spiritual tapi tidak religius”. Semacam, menerima berbagai tradisi arif di Dunia sekaligus menjauhi apapun yang menyiratkan doktrin.
Perjalanan dimulai dari Sufisme, salah satu aliran dalam Agama Islam. Weiner mempelajari sufisme di Kamp Sufi California namun dia mendapati bahwa racikan sufisme yang dibuat oleh Kamp itu terlalu “musikal, menyenangkan, dan cukup aman”. Kekecewaan Weiner pada kamp itu membawanya terbang ke Turki, tempat Rumi, sang pujangga islam, menuliskan syairnya. Turki tempat asal para darwis yang berputar (hal. 52).
Dari Turki, perjalanan berlanjut ke Kathmandu untuk memelajari Budhisme. Jika di Turki, Weiner berputar ala Darwis. Di Nepal, Weiner belajar untuk duduk bermeditasi. Memusatkan pikiran sembari melatih diri untuk mengatur napas. Setelah berusaha mengenal Budhisme di antara hawa dingin Nepal, Weiner kembali ke hiruk pikuk kota New York untuk mengenal lebih dekat agama Katolik lewat ordo Fransiskan. Weiner menyelusuri lorong-lorong gelap yang tidak nampak dimana tempat kejahatan, kemiskinan, dan penderitaan para tunawisma bisa dilihat dengan mata telanjang. Kemiskinan yang berjarak hanya sepelemparan batu dari kemewahan dan gemerlap Kota New York. Fransiskan mengambil peran dalam memberi tumpangan dan makanan bagi para tunawisma. Bagi Fransiskan, penderitaan, dan kedermawanan adalah bagian penting yang harus mereka lalui agar memahami Tuhan secara utuh.
Setelah berjibaku dengan penderitaan dan kedermawanan ordo Fransiskan di New York, Weiner menjelajah keriuhan Las Vegas untuk bergabung dengan Raelisme. Raelian adalah agama besar berbasis UFO yang diakui secara sah oleh IRS / lembaga pajak Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa umat manusia –diciptakan 25.000 tahun silam oleh ras asing yang pintar dan baik hati bernama Elohim. Elohim menciptakan manusia untuk hidup bersenang-senang (hal.243). Weiner bergabung dengan pertemuan para Raelian untuk mengikuti serangkaian acara ‘bersenang-senang’ dengan cara berdansa di antara musik disco sampai dengan bertukar kostum antar jenis kelamin.
Setelah bersenang-senang dengan Raelisme, Weiner pergi ke Cina untuk memelajari Taoisme dengan mengikuti tur Tao di Kota Wuhan. Taoisme menyampaikan pengetahuan jenis lain, yang bukan berdasarkan konsep, atau logika dasar, melainkan indra intuitif terhadap berbagai hal, dengan kata lain : kebijaksanaan (hal.290). Taoisme merupakan filsafat tentang tubuh, yang diekspresikan melalui latihan seperti taichi dan qi gong, dan akhir dari pencarian Tao adalah keabadian –bukan di Surga, melainkan di sini, di bumi ini, dan di tubuh ini (hal.292).
Kembali dari Cina, Weiner memelajari Wicca di dekat Washington Amerika Serikat. Agama bagi mereka yang memercayai sihir dan percaya pada Tuhan yang jumlahnya ratusan. Weiner menerima undangan pertemuan dengan sesama penyihir di persekutuan Wicca. Ritual bagi Wicca merupakan sesuatu yang bisa dilakukan kapan saja dan bisa dimodifikasi. Wicca sempurna bagi orang-orang yang menyukai ketidaksempurnaan, gemar bereksperimen, dan bersedia mempermalukan diri sendiri (hal.357).
Usai bergelut dengan sihir, Weiner memelajari syamanisme di Beltscille Maryland. Syamanisme kurang tepat dibilang agama, tapi lebih menyerupai praktik spiritual, metodologi, dan penjaga tradisi mitologi umat manusia. Berasal dari kata Siberia, saman artinya orang yang bergairah, tergerak, terbangkitkan. Definisi syaman yang lain adalah orang-orang yang mengetahui (hal.378-379). Bagi sebagian besar orang, syaman dianggap mengalami halusinasi dan delusi. Syaman berkerja dengan ruh, sebuah esensi nonmateri. Weiner diajak untuk menembus alam bawah sadar diantara tabuhan gendang dan diminta untuk menuliskan pengalaman dia selama ada disana.
Di bagian akhir, Weiner menyajikan tentang Kabbalah. Mungkin Weiner sengaja menjadikan yahudi sebagai penutup buku ini karena dia (secara teori) adalah penganut yahudi. Weiner memelajari Kabbalah dengan pergi ke Tzfat, salah satu kota di Israela yang menjadi tempat persimpangan antara yang sakral dan profan. Juga kota pelarian bagi warga Tel Aviv yang ingin menghindari cuaca panas, magnet bagi penjudi dan wanita penghibur, koloni artis, pedesaan arab yang sepi, dan medan pertempuran (hal.406). Tzfat memikat orang Yahudi yang tersisih, yang kurang kerasan di dunia penuh kekangan Yerussalem yang ortodoks, atau Tel Aviv yang sekuler (hal.411). Bagi Kabbalah, Tuhan bukanlah entitas spiritual, tapi Dia di atas spiritual. Ein sof secara harfiah berarti ‘tanpa batas’. Namun, Tuhan ada dalam setiap aspek kehidupan (hal. 409).
Saya merasa Weiner tidak sedang ‘memilih keimanan’ sesuai yang dikatakannya di prolog buku ini. Dia tidak sedang membuat perbandingan dan mencari yang terbaik dari 8 aliran kepercayaan yang ditulisnya di buku The Geography of Faith. Bagi Weiner, tujuan semua agama (yang baik) adalah mengubah bagian paling menjijikkan pada diri kita menjadi sesuatu yang tidak hanya layak mendapat pengakuan, tetapi juga cinta (hal. 479). Untuk tujuan ini, diperlukan olah tubuh spiritual (kita menyebutnya ritual ibadah). Justru di epilog, Weiner mengatakan bahwa Tuhan adalah sekumpulan himpunan. Weiner tidak lagi mencari Tuhan karena bagian tersulit dari pencarian adalah berhenti mencari dan menunggu. Weiner merancang dan menghimpun dari apa yang sudah dia peroleh di pencariannya. Dan dia tetap menunggu, karena dia belum juga mendapatkannya.