PERUBAHAN PENGENAAN PPN PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PERBANKAN SYARIAH

 

Ria Anisatus Sholihah

Staf Pengendali Akuntansi Keuangan

Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim, MalangJurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 5 No.2 Juni 2011  

Diterbitkan oleh Forum Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Abstract : 

One of the product Syariah Banking is Murabahah. Murabahah refers to the sale of goods at a price, which includes a profit margin agreed to by both parties. The purchase and selling price, other costs, and the profit margin must be clearly stated at the time of the sale agreement. The bank is compensated for the time value of its money in the form of the profit margin. 

This article analyzez an empirical change of Pajak Pertambahan Nilai (PPN) from murabahah. Before The Third Change of Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 about Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah in September,16th 2009 , Murabahah is the sale good transaction, not one of product Syariah Banking. After the date, Murabahah is one of product Syariah Banking. Thus there are no tax in this transaction.

This change bought a positive issue in Syariah Banking Growth and increase bargaining position of Syari’ah Banking in a big competition with Conventional Banking.

 Keywords : PPN, Murabahah, Perbankan Syari’ah

 

 PENDAHULUAN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa yang merupakan obyek dari PPN. Dalam rangka menjawab perubahan-perubahan yang sangat cepat tersebut, maka perlu dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan atas UU PPN dan PPn BM.

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada hari Rabu 16 September 2009. Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM dibuat berdasarkan Pendapat Akhir Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanggal 16 September 2009. RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010. (www.depkeu.go.id).

Salah satu hal pokok yang mengalami perubahan Undang-undang PPN dan PPnBM 2009 adalah “ Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN “.

Sebelum adanya perubahan terhadap PPN yang dikenakan terhadap perbankan syariah, pengenaan PPN atas produk Murabahah tetap merupakan inkonsistensi peraturan. Dalam pandangan Direktorat Jenderal Pajak, akad murabahah dianggap sebagai transaksi ganda. Yakni, transaksi jual beli antara penjual barang kepada bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli antara bank syariah dan nasabah. Karena itu, merujuk pada UU No. 8 / 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua kali. Pertama, saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari penjual kepada bank. Kedua, saat terjadi penyerahan barang dari bank kepada nasabah.

Di sisi lain, pendapatan bunga yang merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan konvensional, tidak dikenakan PPN, sedangkan margin pembiayaan murabahah yang juga merupakan pendapatan dari produk intermediasi perbankan syariah justru dikenakan PPN. Padahal net interest margin bank syariah pun tak berbeda jauh dengan konvensional yaitu sekitar 7% – 10 %. Inkonsistensi aturan ini menyebabkan bank syariah harus menjual produk murabahah lebih mahal untuk mendapat tingkat keuntungan yagn sama dengan pembiayaan bank konvensional. Konsekuensi dari adanya perbedaan di atas, konsumen harus membayar lebih mahal untuk memilih produk murabahah dibanding dengan produk bank konvensional. Dampaknya, konsumen akan memilih produk yang lebih murah untuk mendapat manfaat yang sama.

Pembiayaan-pembiayaan di Perbankan Syariah

UU No 21 Tahun 2008 tentang  Perbankan Syari’ah dalam Pasal 1 (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Ada tujuh macam pembiayaan yang berkembang di lembaga keuangan syari’ah, yaitu :

  1. Mudharabah : Pembiayaan seluruh kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan
  2. Musyarakah : Pembiayaan sebagian kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan
  3. Murabahah : Pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan untuk membeli suatu produk dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut secara seluruhnya pada waktu jatuh tempo
  4. Bai’bitsaman ajil : Pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan untuk membeli suatu produk dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut secara mencicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan
  5. Ijarah : Pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan untuk memiliki suatu produk dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan
  6. Rahn : Pembiayaan yang berupa pinjaman dana tunai dengan jaminan barang bergerak yang relatif nilainya tetap seperti perhiasan emas, perak, intan, berlian, batu mulias, mobil, sertifikat rumah dan sebagainya pada jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan
  7. Qardhul Hasan : Pembiayaan berupa pinjaman tanpa dibebani biaya apapun bagi kaum dhuafa yang ingin berusaha kecil-kecilan (khasanah, 2010   127)                                                                                                                                                                                   Menurut Wirdyaningsih, dkk (2005:44) Pendapatan Bank Syari’ah secara umum adalah berupa :
  1. Bagian bagi hasil yang diperoleh dari penggunaan fasilitas pembiayaan bagi hasil mudharabah dan musyarakah
  2. Mark up / margin keuntungan dari penggunaan fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal
  3. Sewa yang diperole dari fasilitas sewa beli dan jaminan gadai
  4. Fee yang diperoleh dari penggunaan jasa-jasa yang tersedia pada bank islam
  5. Biaya administrasi dari penggunaan fasilitas pembiayaan kebajikan

Pendapatan-pendapatan tersebut diatas sebelum dikurangi dengan biaya overhead dan pajak terlebih dahulu dibagihasilkan dengan penyimpan dana (deposito dan tabungan) sesuai dengan porsi (nisbah) bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya

PEMBAHASAN

Pembiayaan Murabahah di Perbankan Syari’ah

Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk dari natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa requied rate of profitnya atau keuntungan yang ingin diperoleh (Karim,2007:113).

Karakteristik murabahah adalah kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. (Karim,2007:113). Sedangkan untuk jangka waktu akad murabahah yang telah ditetapkan Bank kepada nasabahnya adalah selama 30 hari, 60 hari, 90 hari atau jangka waktu lain yang telah disepakati bersama (Muhammad, 2005:26)

Biaya-biaya yang dapat dibebankan pada transaksi murabahah adalah biaya langsung yang harus dibebankan kepada pihak ketiga. Selain itu biaya tidak langsung juga dapat dibebankan kepada pihak ketiga jika biaya tersebut dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dibayarkan pihak ketiga (Karim,2007:114).

Biaya yang tidak boleh dibebankan pada transaksi murabahah adalah biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Selain itu biaya tidak langsung juga tidak dapat dibebankan bila biaya tidak langsung tersebut tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna (Karim,2007:114).

Menurut Muhammad (2005:23) Dasar hukum produk murabahah adalah :

Al-qur’an

  1. QS. An-Nisa’ :29

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”

  1. QS. Al-Baqarah : 275

“ Dan Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Sunnah

  1. HR. Albazzar, Imam Hakim mengkategorikannya sahih

“Dari Rafaah bin Rafie r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya pekerjaan apakah yang paling mulia, Rasulullah SAW menjawab : pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”

  1. HR. Al-Baihaqi, Ibnu Majah, dan Sahih menurut Ibn Hibban

“Dari Abu Said Al-Hudriyyi bahwa Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka”

  1. Imam Tirmizi berkata hadis ini hasan

“Pedagang yang jujur dan benar berada di surga bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada”

  1. HR. Ibnu Majah

“Dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tanggug, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” (Antonio,2001:102)

Ijma’

            Umat islam telah berkonsensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya. Ijma’ ini juga berdasarkan kepada Fatwa MUI sebagai berikut :

  1. No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang legalitas dari produk murabahah
  2. No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon pada murabahah
  3. No. 03/DSN-MUI/IX/2000 tentang Kemajuan dari pembayaran
  4. No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Pemotongan jumlah dari murabahah
  5. No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Murabahah
  6. No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Rescheduling pembayaran murabahah
  7. No. 4(/DSN-MUI/II/2005 tentang Reagreement murabahah (Hidayati,2008:116)

Aturan spesifik tentang muabahah yang menurut Hidayati (2008:115-116) adalah :

  1. Subyek penjualan harus ada saat waktu transaksi
  2. Barang yang menjadi subyek harud dimiliki oleh penjual saat waktu penjualan
  3. Subyek penjualan hadus berbentuk fisik atau berhak milik oleh penjual ketika penjual menjualnya kepada orang lain
  4. Penjualan harus segera dan pasti/nyata
  5. Barang yang menjadi subyek harus memiliki nilai
  6. Subyek penjualan bukan merupakan barang yang digunakan untuk tujuan yang tidak islami
  7. Subyek penjualan harus dapat dikenal secara spesifik dan diidentifikasi oleh pembeli
  8. Pengiriman dari barang yang dijual kepada pembeli harus pasti dan tidak tergantung pada kemungkinan atau kesempatan
  9. Kepastian harga dibutuhkan untuk validitas penjualan

10.  Penjualan harus di pastikan dan tidak tergantung pada situasi

Bank syariah pada umumnya menggunakan murabahah sebagai metode utama pembiayaan, yang merupakan hampir 75% dari asetnya. Prosentase ini merupakan prosentase kasar bagi bank syari’ah di Pakistan dan Iran. Pada awal 1984 di Pakistan, keuangan jenis murabahah berjumlah hampir 80% dari seluruh keuangan dalam investasi deposito. Sedangkan pada Bank Islam Dubai (DIB) keuangan murabahah berjumlah 82% dari seluruh keuangan. Bahkan untuk Bank Pembangunan Islam (IDB), selama lebih dari sepuluh periode pembiayaan, 73% seluruh keuangan berdasarkan murabahah pada pembiayaan keuangan perdagangan luar negerinya (Saeed, 2004:139)

Pada bank konvensional, suku bunga yang dibayarkan nasabah bisa bersifat tetap atau variabel. Untuk transaksi murabahah yang umumnya merupakan pembiayaan jangka pendek, pemilihan antara suku bunga tetap atau variabel tidaklah penting.  Suku bunga yang tetap bergantung pada kebutuhan bank untuk memperoleh pengembalian real dan juga inflasi, ketidakpastian tentang tingkat inflasi di masa yang akan datang, pilihan likuiditas dan tuntutan meminjam, kebijakan moneter dan bahkan suku bunga di luar negeri(Saeed, 2004:148).

Dalam murabahah, faktor yang mempengaruhi margin keuntungan yang ditetapkan bank adalah kebutuhan bank atas kenyataan pengembalian, inflasi, suku bunga yang berlaku, kebijakan moneter, dan suku bunga di luar negeri, sekaligus kemampuan pasar barang murabahah dan angka keuntungan yang diperkirakan dari barang-barang(Saeed, 2004:148).

Pada umumnya margin keuntungan yang ditetapkan bank syari’ah pada produk murabahah lebih rendah daripada tingkat bunga yang ditetapkan bank konvensional pada pembiayaan sejenis. Namun biaya yang dikeluarkan bank syariah pada produk ini tidak bisa dikatakan rendah. Biaya ini meliputi riset pasar yang mahal, kertas kerja yang termasuk dalam pemrosesan permintaan pembiayaan murabahah, hubungan dengan pensuplai, penanganan dokumen, serta pemantauan kemajuan penjualan barang dalam murabahah setelah dikirim ke klien(Saeed, 2004:150)

Pada produk murabahah, kontrak penjualan melibatkan hubungan antara debitur-kreditur, antar klien dan bank masing-masing. Pembeli sepakat biaya barang ditambah margin keuntungan dalam angsuran, jumlah dan waktu jatuh tempo yang dikhususkan dalam perjanjian itu. Setelah bank dan klien masuk ke dalam perjanjian penjualan ini, harga penjualan menjadi kewajiban hutang sisi klien kepada bank. Hubungan klien dengan bank ini menjadi hubungan debitur kreditur bukan sebagai penjual dan pembeli (Saeed, 2004:158).

Berdasarkan penjelasan di atas, peran bank syariah dalam pembiayaan murabahah dapat dijelaskan secara lebih tepat dengan istilah pembiaya daripada istilah penjual barang. Bank tidak menangani barang secara penuh dan juga tidak menanggung risiko dari hubungan ini. Kerja banj hampir secara penuh terkait dengan penanganan dokumen terkait. Konstruksi penjualan merupakan formalitas semata.

 

Pengenaan PPN Pada Produk Muharabah

Ketentuan hukum yang secara khusus mengatur perbankan syari’ah di Indonesia adalah UU No 21 Tahun 2008 tentang  Perbankan Syari’ah. Sedangkan ketentuan yang berkaitan dengan perpajakan juga memiliki perbedaan yang signifikan antara bank syari’ah dan bank konvensional. Salah satu contohnya adalah pengenaan pajak pendapatan terhadap pendapatan operasi bank konvensional yang sudah final seperti bunga deposito. Sedangkan pada bank syari’ah, sistem bagi hasil yang diperoleh oleh nasabah tidak berupa dividen dan bukan pula pendapatan yang sudah final karena pendapatan ini diterima setiap bulan bahkan bisa dihitung setiap hari (Sumitro, 2004:70)

Contoh lain di bidang perpajakan adalah pengenaan double tax berupa PPN sebanyak dua kali pada produk murabahah di bank syari’ah karena murabahah dianggap sebagai transaksi jual beli pada umumnya, padahal jika dirunut lebih lanjut maka produk murabahah merupakan produk penyaluran dana bank syari’ah terhadap masyarakat dalam pembiayaan berbentuk kredit.

Permasalahan dalam bidang perpajakan ini timbul pada bank syari’ah karena berkaitan dengan ketentuan bank syari’ah yang tidak membedakan secara tegas antara sektor moneter dan sektor riil. (Arifin, 2000:214). Ketentutan tersebut termuat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) pada tahun 2003, dimana dalam PBI ini, transaksi murabahah didefinisikan sebagai jual beli yang menjadi objek pajak. Aturan kedua termuat pada Pedoman Akuntansi Syariah (PAS), dimana transaksi murabahah jadi bagian dari objek pajak (http://www.pkesinteraktif.com/ bisnis/ perbankan-syariah /714-netralisasi-ppn-transaksi-murabahah-diantara-madu-dan-racun.html)

Selain Peraturan Bank Indonesia dan Pedoman Akuntansi Syariah, UU No. 10 Tahun 1998 tidak dapat secara tegas memformulasikan transaksi bank syari’ah dalam bentuk akad jual-beli atau akad sewa. Transaksi ini diformulasikan sebagai “akad pembiayaan jual beli”. Alasannya adalah karena akad jual beli memberikan konsekuensi pajak atas jual beli. Bila ini diberlakukan maka akan terjadi double taxation, yaitu pajak yang timbul pada saat bank melakukan pembelian dan pajak atas penjualan yang dilakukan oleh bank kepada nasabah disamping pajak penghasilan. Akibatnya beban yang harus ditanggung nasabah bank syari’ah akan menjadi lebih tinggi ketimbang nasabah bank konvensional(Arifin, 2000:215).

Disamping itu, akad pembiayaan dapat dipresepsikan sebagai akad pinjam meminjam uang (qard), yang oleh karenanya bank tidak boleh meminta imbalan apapun, kecuali biaya administrasi. Bila bank mengambil keuntungan darinya, maka tidak ada bedanya dengan bank konvensional alias bersifat ribawi (Arifin, 2000:215).

Setelah terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 ini pun masih ada potensi timbulnya problem hukum di bidang perpajakan tersebut, oleh karena itu perlu ada penegasan hukum yang menyatakan bahwa transaksi jual beli dan sewa dalam rangka sistem perbankan syari’ah bukanlah transaksi jual beli yang merupakan obyek pajak (Arifin, 2000:215).

Penegasan tersebut terjadi dengan adanya UU No.21 Tahun 2008. Salah satu aspek penting yang dibahas adalah adanya definisi baru mengenai transaksi murabahah. Dalam definisi lama disebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Menurut UU No.21 Tahun 2008 disebutkan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Diubahnya kata “jual beli” dengan kata “pembiayaan”, secara implisit UU No.21 Tahun 2008 ini ingin mengatakan bahwa transaksi murabahah tidak termasuk transaksi yang dikenakan pajak sebagaimana yang kini menjadi masalah bagi bank syariah.

Berkaitan dengan peraturan perpajakan yang ada, sebelum adanya perubahan Undang-undang PPN dan PPnBM pada tahun 2009 lalu pajak ganda dalam transaksi murabahah merupakan salah satu penghambat bagi industri perbankan syariah. Pasalnya, transaksi murabahah dilihat sebagai transaksi jual beli biasa. Padahal murabahah merupakan salah satu produk keuangan perbankan, di mana seharusnya produk keuangan perbankan tidak masuk sebagai objek PPN. Karena transaksi jual beli itu terjadinya dua kali, maka terjadi dua kali peralihan kepemilikan sehingga PPN-nya dikenakan dua kali juga. Menurut UU No. 18 Tahun 2000 (tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, utamanya Pasal 1A ayat (1), huruf a dan b,) berarti juga terbebani dua kali pembayaran pajak.

Terdapat tiga alasan tentang  pentingnya dihapus pajak ganda (double taxation), yaitu :

  1. Pajak ganda ini menjadi penghambat perkembangan perbankan syariah, padahal saat ini sedang dilakukan pencapaian target aset perbankan syariah menjadi dua persen. Jika kita melihat data pada skim pembiayaan terjadi penurunan, tahun 2007 tercatat laju pertumbuhan bank syariah mencapai 30,1 persen, lebih rendah dibanding pembiayaan tahun 2006 yang mencapai 34,2 persen. Data ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya.
  2. Dapat dikatakan dalam setiap melakukan transaksi murabahahnya, bank syariah akan selalu mengalami kerugian karena harus membayar pajak yang lebih besar dari keuntungan yang diperolehnya. pengambilan margin yang hanya sekitar 5 % dari transaksi murabahah ini sebelumnya sudah dipertimbangkan oleh bank-bank syariah, sebab jika bank syariah mengambil keuntungan yang lebih besar dari setiap transaksi murabahahnya, katakanlah lebih besar dari PPN 10% dengan alasan supaya menutupi kerugian pembayaran pajaknya, tentunya bank syariah akan kalah bersaing dengan bank-bank lain seperti bank konvensional yang memberikan kredit pembiayaan lebih kecil karena bank konvensional tidak dikenai pajak ganda. Akibat dari pengambilan margin yang lebih besar dari bank konvensional, para nasabah pun pastinya akan memilih bank yang memberikan pembayaran cicilan lebih murah dari bank syariah.
  3. Penghapusan pajak ganda menjadi sangat penting terkait dengan kepentingan masuknya investasi asing di Indonesia. Adanya pajak ganda akan menyebabkan industri perbankan dan keuangan syariah Indonesia menjadi kurang menarik dikembangkan. Dampaknya, motivasi para investor untuk masuk dan mengembangkan industri syariah di Indonesia pun menjadi surut. Dengan adanya penghapusan pajak ganda akan memicu perkembangan industri syariah tidak hanya di perbankan syariah namun juga pada industri lainya seperti asuransi dan pasar modal syariah.Sesungguhnya pemberlakuan hanya satu kali pajak dalam pembiayaan syariah telah dilakukan oleh banyak negara lain. Saat ini negara yang memiliki industri keuangan dan perbankan syariah telah menghapuskan pajak ganda dalam transaksi pembiayaan syariah diantaranya, Amerika Serikat melalui Office of the Comptroller of the Currency (OOC) yang mengeluarkan dua interpretative letters yang berisi tentang transaksi murabahah dan ijarah (http://www.waspada.co.id/index.php?view=article&catid=33%3Aartikel-jumat& id=12754%3Ahapus-pajak-ganda-perbankan-syariah&format=pdf&option= com_content)

PERUBAHAN UU PPN dan PPnBM

 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. PPN diatur dalam UU No. 8/1983 yang telah diubah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 18/2000. Undang-undang ini menyatakan bahwa segala jenis barang, berwujud baik bergerak atau tidak bergerak, maupun barang tidak berwujud merupakan obyek PPN.

  • Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atas

hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak

berwujud.

  • Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud

dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

  • Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa jasa adalah setiap kegiatan berdasarkan suatu perikatan

atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau

hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena

pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

  • Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa Jasa Kena Pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  • Pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
  • Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
  • Pasal 1A ayat (1) huruf a menyatakan bahwa termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa perjanjian yang dimaksudkan dalam ketentuan ini meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
  • Pasal 4 huruf a menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. (http://www.docstoc.com/docs/21480068/13-PPN-TERHADAP-PEMBIAYAAN-MURABAHAH-DALAM-PERBANKAN-SYARIAH)

Jika memperhatikan pasal-pasal yang telah dijelaskan diatas, maka transaksi murabahah termasuk obyek pajak yang terkena perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun dalam pasal-pasal lain masih diberikan pengecualian atas obyek pajak tertentu.

Pengecualian PPN adalah sebagai berikut :

  • Pasal 4A ayat (2) jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, menetapkan jenis-jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yaitu : barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya; barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
  • Pasal 4A ayat (3) jo. Pasal 5 huruf d dan Pasal 8 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, menetapkan jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya (kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), dan jasa anjak piutang) sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
  • Berkenaan dengan jasa perbankan, dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ.5/1990, diatur tentang batasan jasa perbankan yang tidak dikenakan PPN, yaitu : Jasa penghimpunan dana (giro, deposito, tabungan dan lain-lain); Jasa penyaluran dana (perkreditan); dan Jasa di bidang lalu lintas keuangan giral dan kartal (http://www.docstoc.com/docs/21480068/13-PPN-TERHADAP-PEMBIAYAAN-MURABAHAH-DALAM-PERBANKAN-SYARIAH)

Tampak jelas bahwa jasa-jasa di atas merupakan jenis-jenis jasa yang hanya dapat dilakukan oleh lembaga perbankan. Artinya, jasa perbankan yang tidak dikenakan PPN adalah jasa-jasa yang merupakan kegiatan pokok perbankan dan tidak diperkenankan dilakukan oleh lembaga non bank sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

Ketentuan diatas sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 8 PP Nomor 144 Tahun 2000 yang mengatur tentang jasa-jasa yang dilakukan oleh bank tetapi merupakan Jasa Kena Pajak, dengan alasan karena jasa-jasa tersebut dapat dilakukan oleh lembaga bukan bank, jasa-jasa tersebut dikenakan PPN. Jasa-jasa tersebut adalah : Jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga (penyewaan

safe deposit box). Jasa penitipan (safe Custody) yaitu: jasa penyimpanan, penjagaan, dan pemeliharaan surat-surat berharga; Jasa anjak piutang.

Berkaitan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, antara lain mengatur :

  • Pasal 1 angka 13 menyatakan bahwa Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
  • Pasal 6 huruf m menyatakan bahwa usaha bank umum antara lain adalah menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Jelaslah bahwa bank syariah dapat melakukan kegiatan untuk menerima penyimpanan dana, dan dapat menyalurkan pembiayaan yaitu menyediakan sejumlah dana sebagaimana diuraikan lebih lanjut dalam PBI Nomor 9/19/PBI/2007.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank syariah, antara lain

mengatur :

  • Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam :

a)      Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah,

b)      Transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Akad Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyyah bit Tamlik),

c)      Transaksi jual beli yang didasarkan antar lain atas Akad Murabahah, Salam, dan Istishna,

d)      Transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh, dan

e)      Transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Kafalah.

  • Pasal 2 angka 1 menyatakan bahwa Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan, penyaluran dana dan pelayanan jasa. Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah.
  • Pasal 3, menyatakan bahwa Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1, dilakukan sebagai berikut :

a)      dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antar lain Akad Wadi’ah dan Mudharabah,

b)      dalam kegiatan penyaluran dana berupa pembiayaan dengan mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiyyah bit Tamlik dan Qardh, dan

c)      dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad Kafalah, Hawalah dan Sharf. (http://www.docstoc.com/docs/21480068/13-PPN-TERHADAP-PEMBIAYAAN-MURABAHAH-DALAM-PERBANKAN-SYARIAH)

PBI ini khususnya pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa pembiayaan (penyaluran dana) dapat

digunakan untuk membiayai transaksi sebagai berikut :

a) Investasi

b) Sewa

c) Jual beli

d) Pinjaman

e) Multi jasa

PBI ini sama sekali tidak mengatur atau membolehkan Bank syariah melakukan transaksi sebagai berikut :

a) Investasi

b) Sewa

c) Jual beli

d) Pinjaman

e)Multi jasa (http://www.docstoc.com/docs/21480068/13-PPN-TERHADAP-PEMBIAYAAN-MURABAHAH-DALAM-PERBANKAN-SYARIAH)

Karena transaksi transaksi tersebut bukanlah transaksi perbankan sebagaimana dimaksudkan dalam uu NO 7/92 , sebagaimana telah diubah dengan UU no 10/98 Oleh karena itu, pembiayaan murabahah jelas berbeda dengan transaksi murabahah yang dilakukan oleh selain perbankan. Pembiayaan murabahah jelas secara kategoris masuk dalam kategori jasa perbankan yang oleh UU No. 18/2000 Pasal 4A ayat (3) jo. Pasal 5 huruf d dan Pasal 8 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan itu menetapkan jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya (kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), dan jasa anjak piutang) sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

Terkait dengan perubahan PPN, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada hari Rabu 16 September 2009. Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM dibuat berdasarkan Pendapat Akhir Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanggal 16 September 2009. RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010. (sumber www.depkeu.go.id).

Secara umum, Rancangan Perubahan UU PPN dan PPn BM ini bertujuan untuk:

a)      Memberikan kepastian hukum

Penegasan perlakuan pengenaan PPN atas suatu obyek diharapkan dapat memberikan kepastian dalam pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP).

b)      Menyederhanakan sistem PPN.

Penyederhanaan sistem PPN dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam UU PPN dan PPn BM yang menyulitkan WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

c)      Mengurangi Biaya Kepatuhan

Penyederhanaan sistem PPN diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi WP dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan WP

d)      Meningkatkan Kepatuhan WP

Tercapainya tujuan-tujuan tersebut di atas, diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela WP. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya tax ratio.

Perubahan Undang-undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang berkaitan dengan Perbankan Syari’ah adalah “Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN”

 

PENGARUH TERHADAP PERBANKAN SYARIAH

         Industri perbankan syariah 2010 mengalami pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan 2009. Hal ini merujuk pada hasil analisis terhadap kondisi fundamental makroekonomi dalam situasi perekonomian dunia yang cenderung pulih, serta dinamika internal industri perbankan syariah.

         BI telah menyusun beberapa skenario pertumbuhan perbankan syariah, yakni skenario pesimis, moderat dan optimis. Perkembangan perbankan syariah 2009 menunjukkan pertumbuhan volume usaha cukup tinggi, yaitu 26,55%, masih relatif tinggi dibandingkan perbankan konvensional yang sebesar 12,53%. Pencapaian target aset 2010 diharapkan sebesar Rp 97 triliun, dengan angka pertumbuhan industri sebesar 43%. Kondisi tersebut menggunakan asumsi ketersediaan faktor-faktor pendukung industri perbankan syariah.

         Faktor-faktor tersebut antara lain mencakup pertumbuhan secara un-organic akibat penambahan pemain barudalam industri; baik bank umum, Unit Usaha Syariah (UUS) maupun BPR Syariah. Konversi bank umum konvensional yang diakuisisi oleh bank menjadi Bank Umum Syariah dan diikuti dengan spin off UUS menjadi trend pertumbuhan tahun ini. Pada tahun 2009, jumlah bank umum syariah yang beroperasi bertambah dengan adanya konversi usaha 3 bank, yaitu Bank Jasa Artha, Bank Persyarikatan dan Bank Harfa yang masing-masing diakuisisi oleh BRI, Bukopin dan Panin menjadi Bank Umum Syariah.

Pulihnya perekonomian global dan domestik menjadi faktor pendorong lainnya. Kinerja ekonomi nasional 2010 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun ini. Pertumbuhan konsumsi swasta yang masih kuat, kinerja ekspor yang membaik dan adanya stimulus fiskal turut berpengaruh. Bahkan faktor regulasi yang selama ini menjadi hambatan utama telah teratasi.

Pada tanggal 16 September 2009 lalu, DPR mengesahkan UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang antara lain mengatur perpajakan yang lebih kondusif bagi perbankan syariah.Penetapan UU No. 42 tahun 2009 tentang Amandemen UU PPN dan PPnBM yang efektif berlaku mulai 1 April 2010, telah melengkapi UU Perbankan Syariah setahun sebelumnya.

         Peraturan perundang-undangan pajak yang lama mengandung ketidakpastian dan menjadi arena perseteruan sengit antara pelaku bank syariah dan otoritas pajak. Seringkali bank syariah dalam posisi yang sulit dan dipaksa menanggung biaya dari tagihan pajak kurang bayar karena pembiayaan murabahah (jual beli) dipandang layaknya transaksi jual beli usaha dagang pada umumnya yang harus dikutip PPN, bukan pembiayaan perbankan. Dalam ketentuan PPN yang lama, manakala terjadi PPN kurang bayar maka bank harus membayar PPN 10% ditambah denda 48%, dan denda 2% dari dasar pengenaan PPN. Namun dengan tax neutrality mulai April tahun 2010, setiap pembiayaan di perbankan syariah sudah diperlakukan sama dengan bank konvensional dalam hal pengenaan pajaknya.

Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan bank syariah adalah meningkatkan kualitas layanan, efisiensi operasi dan daya saing, serta pemenuhan kaidah syariah secara konsisten. Peningkatan daya saing, selain dilakukan dari sisi mutu pelayanan dan jaminan ketaatan pada prinsip syariah adalah dengan meningkatkan return investasi dan menurunkan biaya jasa perbankan yang ditawarkan. Jelas bahwa biaya jasa selain dipengaruhi oleh kualitas pengelolaan aset serta efisiensi operasi, juga dipengaruhi oleh beban pajak (http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=281)

Secara umum, pengaruh perubahan peraturan mengenai PPN terhadap pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut :

  1. Mengembangkan bisnis bank syariah. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia per Januari 2010, transaksi murabahah mencapai Rp 26,53 triliun atau 56% dari seluruh transaksi perbankan syariah yang mencapai Rp 47,14 triliun (http://bmt-link.co.id/ppn-dihapus-syariah-siap-tumbuh-cepat-penghapusan-murabahah/)
  2. Karena pembiayaan murabahah mengutamakan adanya barang dan jasa terlebih dahulu, hal ini akan mendorong produksi barang dan jasa. Investasi untuk memproduksi barang dan jasa akan terus meningkat, sehingga dapat memperluas lapangan kerja baru. Selanjutnya fasilitas pembiayaan murabahah yang diberikan kepada semua tahapan proses nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi akan memperlancar arus barang dan jasa. Akibatnya, keseimbangan pasokan barang dan jasa dengan pasokan uang yang beredar akan dapat diperlihara, sehingga kecenderungan kenaikan harga-harga (inflasi) dapat dihambat(Wirdyaningsih, 2005:161).
  3. Dari sisi Produksi, Apabila terjadi pengingkatan pembiayaan murabahah juga akan meningkatkan permintan terhadap barang yang akan dijadikan obyek pembiayaan. Peningkatan permintaan akan menyebabkan terjadinya peningkatan kapasitas produksi barang tersebut. Peningkatan kapasitas produksi berarti peningkatan pembelian bahan baku, mesin baru, dan penambahan tenaga kerja. Kegiatan ini secara multiplier jelas akan menyerap angkatan kerja yang tersedia sehingga akan mengurangi tingkat pengangguran. Bertambahnya jumlah tenaga kerja yang mendapatkan pekerjaan akan meningkatkan pendapatan per kapita, meningkatkan daya beli masyarakat, dan meningkatkan pendapatan nasional (Wirdyaningsih, 2005:162).

Pada pembiayaan murabahah, bank syari’ah memposisikan diri sebagai pembeli barang dan jasa yang potensial, karena itu pembelian oleh bank syari’ah seharusnya mendapatkan potongan harga sehingga menjadi lebih murah. Untuk mendapatkan posisi sebagai potential buyer, bank syari’ah harus melakukan kontak langsung dan melakukan dealing negoisasi dengan produsen, pemasok, dealer, dan supplier. Akibatnya nasabah yang membeli melalui bank islam pun memperoleh harga yang bersaing disamping keringanan berupa kelonggaran jangka waktu pembayaran. Praktik me-wakalah-kan (mewakilkan) kepada nasabah dalam melakukan negoisasi dengan produsen, pemasok, dealer, dan supplier akan menghapuskan posisi bank syari’ah sebagai potential buyer dengan segala daya tawarnya sehingga bank syari’ah memiliki bargaining power dalam menghadapi persaingan dengan bank konvensional(Wirdyaningsih, 2005:161).

 

SIMPULAN

Sebelum adanya perubahan Undang-undang PPN dan PPnBM pada tahun 2009 lalu, pajak ganda dalam transaksi murabahah merupakan salah satu penghambat bagi industri perbankan syari’ah. Pasalnya transaksi murabahah dilihat sebagai transaksi jual beli biasa dan tidak dianggap sebagai salah satu produk jasa keuangan perbankan yang seharusnya tidak termasuk sebagai obyek PPN. Transaksi jual beli tersebut terjadi dua kali karena terjadi dua kali peralihan kepemilikan sehingga PPN terhadap transaksi tersebut juga dikenakan dua kali.

            Pada tanggal 16 September 2009 lalu, DPR mengesahkan UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang antara lain mengatur tentang aturan perpajakan yang lebih kondusif bagi perbankan syari’ah. Penetapan UU No.42 tahun 2009 tentang amandemen UU PPN dan PPnBM yang efektif berlaku mulai tanggal 1 April 2010 telah melengkapi UU Perbankan Syari’ah setahun sebelumnya.

            Perubahan Undang-undang yang berkaitan dengan perbankan syari’ah adalah jasa keuanga yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syari’ah ditetapkan sebagai bukan jasa kena pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN. Dengan tax neutrality mulai bulan April tahun 2010, maka setiap pembiayaan di perbankan syari’ah sudah diperlakukan sama dengan bank konvensional dalam hal pengenaan pajaknya.

Perubahan peraturan mengenai PPN terhadap pembiayaan murabahah membawa dampak positif antara lain pengembangan bisnis bank syariah disertai peningkatan asset bank syariah, mendorong produksi barang dan jasa sehingga dapat memperluas lapangan kerja baru, meningkatkan permintan barang sehingga meningkatkan kapasitas produksi barang tersebut. Dampak positif ini akan menyebabkan bank syari’ah memiliki bargaining power dalam menghadapi persaingan dengan bank konvensional.

REFERENSI

Ali, Sofian. 2008. PPN Terhadap Pembiayaan Murabahah Dalam Perbankan Syari’ah, online, http://www.docstoc.com/docs/21480068/13-PPN-TERHADAP-PEMBIAYAAN-MURABAHAH-DALAM-PERBANKAN-SYARIAH, diakses tanggal 15 Agustus 2010

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press

Arifin, Zaenul. 2000. Memahami Bank Syari’ah : Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek. Jakarta : Alvabet

Bahrul. 2010. Netralisasi PPN Transaksi Murabahah Diantara Madu dan Racun, (online), (http://www.pkesinteraktif.com/bisnis/perbankan-syariah/714-netralisasi-ppn-transaksi-murabahah-diantara-madu-dan-racun.html), diakses tanggal 24 Agustus 2010

Hidayati, Barida. 2007. An Analysis on Murabahah Applied in Bank Tabungan Negara (BTN) Syari’ah Malang Branch. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Istishoduna Fakultas Ekonomi UIN Malang. Edisi Mei : 113-127

Ilyas, Nasirwan. 2005. Visi Syari’ah dalam Penyempurnaan UU Pajak, online, (http://www. pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=281), d diakses tanggal 15 Agustus 2010

Karim, Adiwarman A. 2007. Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Khasanah, Umrotul. 2010. System Bagi Hasil Dalam Syari’at Islam. Jurnal Syari’ah dan Hukum De Jure Fakultas Syariah UIN Malang. Vol. 1, No.2 : 118-130

Muhammad. 2005. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah. Yogyakarta : UII Press

Rokan, Mustafa Kamal. 2008. Hapus Pajak Ganda Perbankan Syariah, (online), (http://www.waspada.co.id/index.php?view=article&catid=33%3Aartikel-jumat &id=12754%3Ahapus-pajak-ganda-perbankan-syariah&format=pdf& option=com_content), diakses tanggal 24 Agustus 2010

Rudi. 2009. Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM2009, online, (http:// www. klinik-pajak.com/uuppn2009.html), diakses tanggal 13 Agustus 2010

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *