Sebuah Kisah Tentang Menjadi Diri Sendiri

Dalam perjalanan dari Museum Nasional menuju Masjid Istiqlal hari sabtu lalu, Ellen Meianzi Yasak nyeletuk, “Di SMA kita, ada dua golongan murid. Pertama, golongan pintar. Kedua, golongan unik. Karena kita bertiga tidak pintar, maka kita masuk golongan kedua.” Seketika kami bertiga tergelak. Saya pun menyahuti, “Jangan salah, kita itu pintar menertawakan diri sendiri. Dan menertawakan diri sendiri adalah salah satu kecerdasan yang tidak dimiliki semua orang lho.”

Tapi Ellen benar. Sebagai anak yang suka duduk di bangku pojok belakang lalu tertidur saat pelajaran sedang berlangsung, saya merasakan sendiri berbedanya iklim persaingan dalam pelajaran di kelas saat SMA dengan saat saya masih SMP. Memang sih, itu juga risiko saya memilih sekolah di SMA yang ada embel-embelnya Unggulan-BPPT, dengan jam pelajaran eksakta yang lebih banyak dari sekolah biasanya. Belum lagi pelajaran agama saat sore hari yang selalu membuat saya ketar-ketir karena khawatir tidak lulus. 

Saat itu penjurusan baru dilakukan untuk kelas 3. Saat kelas 1, saya sudah ancang-ancang kaki buat masuk IPS. Meski saat kelas 1 saya masih bisa mengikuti pelajaran di kelas. Tapi saat kelas 2, saya mulai kelabakan dengan mata pelajaran MIPA. Nilai menurun. Saya mulai lebih tertarik membaca Annida, Horison, dan novel-novel bergenre islami. Bersandingan dengan Fairish, Eiffel I’m In Love dan Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Lalu saya terus-terusan berpikir : kenapa saya harus mempelajari hal-hal yang tidak saya suka ?

Jadi, ketika wali kelas 2 bertanya kepada seluruh murid di kelas, siapa yang mau masuk IPS. Dengan gagah berani, saya mengacungkan tangan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata dalam satu kelas, cuma saya dan tiga teman saya yang mengacungkan tangan. Jadilah kami siswa IPS dan saya sebangku dengan Titi Fitrianita. Cuma ada satu kelas IPS karena peminatnya sedikit. Dan kelas kami digabung dengan formasi 10 siswa laki-laki dan 15 siswa perempuan. Di kelas 3 IPS ini, saya masih tetap sama. Menempati bangku pojok kanan paling belakang dekat jendela dan tertidur saat pelajaran tiba. Bonusnya, saya akhirnya menikah dengan teman sekelas IPS.

Singkat kata, kami baru berproses dan berkembang saat bangku kuliah dengan jurusan berbeda, yaitu : komunikasi, akuntansi, dan sosiologi. Dan inilah kami sekarang. Berbahagia dengan pilihan kami. Lalu bertanggung jawab, dengan cara tetap konsisten dan menikmati setiap perjalanan di dalamnya. Meski saya baru memulai langkah pertama dan mereka berdua sudah berlari jauh di depan.

Jadi, kota mana yang akan kita singgahi selanjutnya ?

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *