SENI BERBASA-BASI

seni-berbasa-basi
Biasanya, ada dua momen untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar : Lebaran Dan Hajatan Pernikahan. Dua momen untuk saling berbahagia karena bisa bersilaturahmi namun terkadang menyebalkan. Mengapa menyebalkan ? Karena di tengah kebahagiaan dan suasana penuh kangen, seringkali kita juga terjebak dalam percakapan-percakapan basa-basi.

Seperti bisa ditebak, tahun ini saya akan mendapat pertanyaan tentang kehamilan. Pernikahan saya saat ini memasuki tahun kedua. Pantaslah jika pertanyaan itu muncul. Biasanya pertanyaan seputar perkembangan hidup kita akan serta merta berubah mengikuti kondisi kita saat ini. Saya pernah mendapat pertanyaan tentang kelulusan S2 dan juga tentang kapan nikah. Dua pertanyaan itu sudah saya lalui. Ketika pertanyaan tentang kehamilan muncul, saya agak baper.

Semula saya sudah menyiapkan berbagai jawaban. Mulai dari jawaban paling pendek hingga jawaban paling panjang. Misal, untuk jawaban paling pendek, saya berencana akan membalas dengan kata ‘belum’ sambil mengeluarkan wajah jutek tanpa senyum agar mereka tidak bertanya lagi. Contoh rencana jawaban lainnya yang paling panjang adalah dengan menjawab : Nah, itu dia masalahnya pak/bu. Saya juga tidak tahu kenapa saya belum hamil. Mungkin bapak/ibu bisa menganalisis kenapa saya belum juga hamil. Atau mungkin bisa dicarikan jawaban langsung dengan bertanya kepada Yang Maha Memberi. Ehm, gimana, kurang panjangkah ?

Tapi ternyata semua jawaban yang sudah saya siapkan tidak terucap sama sekali. Jika ada yang bertanya, apakah kami sudah “bati” (istilah bahasa jawa yang berarti untung, merujuk pada sudah diberi momongan), suami saya yang menyahut : alhamdulillah ini saya sudah bati karena berat badan sudah mencapai angka 90 kg. Sambil dia mengelus perutnya yang jemblung dan cengengesan. Dia menyahut karena paham saya kalau sudah bad mood ditanya masalah kehamilan, maka akan merusak suasana. Hehehe.

Otomatis, saya cuma senyum ketika melihat tingkah suami. Gak jadi bad mood. Kalau masih ada yang bertanya lagi, tentang kehamilan saya dan tentang kami yang masih menjalani Long Distance Marriage, saya diajarin oleh suami untuk menjawab : Injiih, Pandongane Mawon (doakan saja ya). Singkat, padat, jelas, dan tanpa perlu baper. Orang yang bertanya senang. Kita yang menjawab juga senang. Dan semoga, tidak ada pertanyaan lanjutan.

Tapi berbeda ketika saya menghadiri pernikahan teman suami ketika lebaran lalu. Teman suami dan pasangannya berencana untuk menjalani hubungan Long Distance Marriage seperti kami. Karena kami berempat sebaya dan teman suami juga asyik diajak ngobrol, kunjungan kami berubah menjadi diskusi singkat tentang kelebihan dan kekurangan hubungan LDM. Kalau pas bertemu dengan orang yang seperti ini, saya bisa menjadi diri sendiri dan mengeluarkan uneg-uneg di dalam hati. Seandainya waktu itu kami datang tidak terlalu malam, mungkin percakapan kami akan berlanjut lebih lama.

Momen lebaran berakhir, momen undangan pernikahan bertaburan. Tak jauh beda dengan saat lebaran, acara pernikahan juga menjadi ajang silaturahmi dan saling bertukar kabar. Nah, untuk yang ini saya agak parah. Saya tergolong parah dalam hal rewang (membantu persiapan pernikahan). Pernah suatu kali saya berusaha membantu memasukkan kue ke dalam kotak tapi malah salah karena saya tidak hapal nama-nama kue dan langsung saja memasukkan kue tanpa bertanya.

Pernah juga saya berusaha membantu menyiapkan teh/kopi tapi karena teledor, teh dan kopi itu tumpah. Sampai beberapa saudara menyuruh saya pergi saja daripada membuat masalah. Lha gimana, dengan wajah ndomblong sok innocent, saya duduk di dekat mereka tapi tidak melakukan apa-apa. Semacam manekin yang perlu dipasangi baterai dulu agar mau bergerak. Bikin sumpek ruangan saja.

Ajang rewang dalam rangka mempersiapkan pernikahan juga ajang yang tepat untuk mengobrol dengan keluarga lainnya. Mengobrol adalah hal yang tepat dilakukan untuk membunuh kebosanan karena tangan yang bergerak secara konstan untuk memasukkan kue. Obrolan bergulir. Mulai dari pertanyaan tentang kabar keluarga, pekerjaan apa, berlanjut ke kabar keluarga lainnya. Nah obrolan ini semakin melebar. Mulai dari saling bergosip tentang orang-orang yang tidak ada di antara mereka sampai bergosip tentang tuan rumah. Ada saja yang dirasa kurang pas. Jenis kue. Susunan acara. Riasan dan pakaian pengantin. Pengisi acara. Pembagian makanan. Kondisi Besan. Dan lain-lain. Dan lain-lain. Sambil membandingkan dengan pernikahan-pernikahan lainnya.

Kalau sudah begini, biasanya saya cuma diam sambil pura-pura budeg. Kalau pas kebagian pertanyaan, ya saya cuma menjawab tidak tahu daripada ikut-ikutan menjawab tentang sesuatu yang tidak benar saya ketahui dengan pasti. Aman. Nyaman. Tenteram. Damai. Miriplah sama slogan salah satu kota di Indonesia.

Gara-gara acara pernikahan saudara saya hari ini, saya teringat ucapan ibuk. Kata Ibuk, mau kita berusaha sesempurna apapun untuk menyelenggarakan pernikahan, tetap ada celah orang lain untuk berkomentar. Yang kita perlukan hanya lebih santai dan melakukan yang terbaik. Cukup. Saya rasa ibuk benar. Bahkan dalam hidup, kita juga bisa melakukan hal yang sama. Lebih santai dan melakukan yang terbaik. Barangkali kita memang perlu mendengar orang lain berbicara. Tapi kita tidak perlu menanggapi semuanya. Ambil yang baik. Abaikan yang buruk. Sesekali perlulah kita berbasa-basi. Tapi sesekali kita juga hanya perlu untuk menanggapi yang benar-benar penting. Kira-kira seperti itulah agar hidup kita lebih santai dan tidak mudah baper.

Catatan :

Oiya, gara-gara hari ini juga, saya jadi teringat pernikahan saya sendiri. Untuk itu saya meminta maaf jika ada yang tidak sengaja/lupa saya beritahu tentang kabar pernikahan kami. Saya juga minta maaf jika ada yang tidak terlayani dengan baik selama acara atau pasca acara. Saya minta maaf jika saya lupa berterima kasih karena telah hadir atau membantu penyelenggaraan acara. Mumpung momen lebaran juga nih. Maafkan yaaaaaaaa. 😀😀

You may also like

14 Comments

  1. Iy mba,,. Kalau mendengar Kara org lain gk akan Ada habis2nya,, mba msalah kepikiran trus,,, basa-basi dh JD kbiasaan to klau prtanyaannya bikin baper jd maleskan,. :Intinya hidup kita bukan tentang mereka; itu Aja😉

  2. Semangat mbak, mungkin pertanyaan tentang kapan memiliki momongan sudah jadi standart nasional jika ada pasangan baru, heeee ….
    jangan kaget kalau udah kumpul dengan emak-emak senior pasti banyak hal baru, wkwkwk

    1. Iya sekalipun udah berusaha gak baper, tapi tetep deh kadang-kadang masih kebawa sedihnya. Semoga mentalku lebih kuat lagi menghadapi emak-emak senior deh ! Hehehe

  3. Masih banyak pertanyaan baper yang kudu dilalui. Ahahaha..

    Sekarang sih aku masih melalui pertanyaan kapan nikah dan kerja apa. Sebenernya bs dijawab dg santai sih… Pertanyaan kedua selalu bingung dg jawabannya.

    “blogger, buzzer”

    Pasti akan ada pertanyaan lanjutan yang kebanyakan masih blm paham apa itu bla bla bla. Males jelasin karena kalo jelasin bs panjang lebar. Mau jawab fteelance nanti pertanyaan lanjutannya begini.. Begitu… Mau jawab, gak kerja, nanti diceramahi. Ya Allah berat banget melalui pertanyaan sederhana yang sulit dijawab ini. Ahahahaha…

    1. Waduh. ternyata gak cuma aku saja ya yang dapet pertanyaan menyebalkan. Memang pertanyaan tanpa akhir itu kayaknya lebih baik dihadapi dengan santai dan No Baper deh biar kita gak kepikiran terus.

  4. Aku juga susah alias bete jika ditanya pekerjaan. Hahahaaa…. Dan pertanyaan itu akan selalu berulang tiap tahun pdhl dah lebih dari 10th resign. Kok ya tahan ya aku bete selama itu? Wkwkwkk

    1. Berarti mental mbak kuat bangett yaa. Insyaallah deh dengan berjalannya waktu aku juga bisa gak baper lagi. Hehehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *