Sebenarnya cukup aneh kalo seorang pecinta es teh seperti saya membahas tentang kopi. Tapi karena ini menyangkut film Filosofi kopi yang diadaptasi dari cerpen karya Dee dan saya selalu berusaha untuk menonton semua film yang diadaptasi dari buku-buku Dee tepat di hari pertama penayangan di bioskop, maka tangan saya menjadi gatal untuk membuat semacam review amburadul film ini.
Filosofi kopi. Adalah salah satu cerpen karya Dee yang dibuat pada tahun 1996. Mengendap lama dan diketahui oleh dunia justru setelah Dee lebih terkenal dengan Supernova-nya di Tahun 2001. Sebuah karya yang sederhana tentang cinta dan obsesi. Pada sahabat. Pada kopi. Cerita pendek tentang bagaimanapun sebuah kehidupan tidaklah sempurna. Setiap kehidupan punya sisi pahit. Sama seperti kopi.
Lalu bagaimana jika cerpen ini difilmkan?. Saya sempat berdebat dengan seorang teman ketika perahu kertas dan madre difilmkan. Bagi saya, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, dan Filosofi Kopi tidak mungkin difilmkan karena konsumennya terbatas. Supernova memiliki permasalahan terlalu kompleks untuk masyarakat yang memuja norma seperti kita : tentang homoseksualitas dan seorang model yang merangkap perempuan panggilan. Sedangkan filosofi kopi lebih banyak berisi kisah penemuan diri melalui kopi daripada percintaan klise antara laki-laki dan perempuan. Apa iya jika difilmkan akan mendatangkan penonton sementara industri film besar tentu berhitung masalah untung rugi?
Pertanyaan saya terjawab. Supernova difilmkan dan tetap mendatangkan penonton meskipun tidak sebanyak penonton film perahu kertas. Saya tidak begitu puas dengan filmnya. Tapi film itu cukup berhasil memvisualkan imajinasi saya. Berbeda dengan Filosofi kopi. Saya sangat suka versi film Filosofi kopi. Saya mensejajarkan tingkat kesukaan saya pada film filosofi kopi dengan film omnibus Rectoverso. Film Filosofi kopi berani mengeksplore apa yang tidak ada di versi cerpennya. Bahkan saya sampai beranggapan bahwa filosofi kopi bukan lagi cerpen tapi sebuah Novel. Tim pembuat filmnya telah berhasil menghidupkan sesuatu di luar cerita cerpen yang hanya berkutat tentang Ben, Jony, dan kopi. Film ini bahkan membuat latar belakang tambahan mengenai alasan kenapa Ben begitu terobsesi pada kopi, masa kecil mereka berdua, serta asal mula kopi tiwus. Film ini membawa kita pada percakapan-percakapan yang menarik dan lucu antara Ben yang menjengkelkan sekaligus mengagumkan dengan Jony yang memperhitungkan segala sesuatu secara detail. Duo sahabat yang saling melengkapi. Ben dengan kesantaiannya terhadap dunia tapi tidak pernah bercanda masalah kopi, dan jony dengan keseriusannya terhadap bisnis mereka berdua. Dan yah, pada akhirnya kesempurnaan itu tidak pernah ada. Kopi andalan mereka ‘Ben Perfecto’ tetap tidak perfect. Ada kopi tiwus yang dibuat tanpa obsesi untuk menjadi sempurna : “meski tidak sempurna, hidup ini indah adanya”. Kadang kita berfikir terlalu rumit hingga melupakan bahwa ada kata sederhana di kamus kehidupan. Kadang kita bisa lupa bahwa cinta itu begitu sederhana dan bahagia tidaklah memerlukan uang yang banyak.
Menyesuaikan pembuatan film pada tahun 2014 dengan pembuatan cerpen pada tahun 1996, film ini membuat berbagai perubahan. Misalnya adalah taruhan yang di cerpen sebanyak 50 juta merupakan jumlah yang sangat besar sebelum krisis melanda indonesia pada tahun 1998. Jumlah itu tidak lagi fantastis untuk jaman sekarang sehingga film mengubahnya menjadi taruhan sebesar 1 milyar. Adanya pengunjung kafe yang selalu mencari wifi gratisan sebagai syarat utama sebuah kedai kopi juga penyesuaian tren masa kini. Idealisme Ben untuk tidak memasang wifi di kedai kopi mereka membuat pencari wifi gratisan seperti saya serasa tertampar. Termasuk juga anak gaul jaman sekarang yang suka selfie sambil update status sedang nongkrong di kafe. Ituh gue banget deh. Hehehe.
Tapi saya tetap tidak melihat peran sentral kenapa bisa ada Julie Estelle di film ini selain sebagai pemanis. Agar ada kisah cinta klise untuk orang-orang yang menganggap kopi dan persahabatan sebagai hal yang tidak menarik untuk dibahas. Peran Julie Estelle mengingatkan saya pada sebuah artikel di koran yang membahas tentang seorang wanita di indonesia yang memiliki sertifikat internasional sebagai pencicip kopi. Saya iri sekali dengan wanita itu, karena saya memiliki maag yang gampang kambuh kalau saya terlalu banyak minum kopi. Pertama kali mencoba espresso, jantung saya deg-degan seperti habis lari keliling lapangan. Praktis track record saya kebanyakan hanya minum kopi sachet karena sesuai dengan kapasitas dompet dan kapasitas jantung saya.
Sekarang saya mempersiapkan diri untuk hal yang paling menjengkelkan ketika sebuah buku difilmkan : cover buku itu akan diganti dengan poster film untuk meningkatkan jumlah pembeli buku yang awalnya tahu buku itu setelah nonton film. Saya bersiap-siap menantikan gambar kopi di buku filosofi kopi berganti dengan foto para pemain film filosofi kopi. Uufffhhhh…..
Catatan :
Saya menulis ini di kedai Macchiato Coffee MX, sambil mendengarkan suara mesin penggiling kopi bersautan dengan alunan lagu Coldplay. Mengobrol dengan salah satu Barista yang ternyata pernah melihat saya sedang mojok membaca buku sendirian sambil menunggu jam pemutaran film Filosofi Kopi di hari pemutaran film pertamanya di Malang. Kami memiliki selera yang sama : suka pada tulisan-tulisan perjalanan Agustinus Wibowo. Pembicaraan yang berlanjut dengan diskusi ringan tentang karya kami dan diakhiri dengan bertukar alamat email 😀
