Ubud, Sekali Lagi. Selagi Kembali. (Part 3)

seno gumira
: Catatan hari ketiga
Hari ini saya hanya berencana untuk pergi ke dua acara : Humanimals dan Rebel With A Cause. Meskipun sebenarnya ada dua acara yang terlewat karena lupa : Scriptwriting Workshop (M. Irfan Ramli) dan Storytelling 101 (Windy Ariestanty).

uw9Datang lebih awal di acara Humanimals, saya sengaja memilih duduk di kursi paling depan sebagai tanda support kepada Ratih yang mengisi acara ini sebagai salah satu panelis paling muda diantara panelis lainnya. Tema Humanimals dibahas dengan singkat. Dari pengamatan saya selama dua hari, rata-rata durasi event-event di festival ini yang berkisar antara 1 s.d. 1,5 jam dengan 4-5 panelis membuat tema yang dibahas menjadi tidak mendalam. Ada juga panelis-panelis yang barangkali tidak berhubungan langsung dengan tema. Kemudian panelis itu ‘dihubungkan’ dengan membaca beberapa bagian dari karyanya
uw10Setelah acara selesai, saya kembali ke hotel. Saya lupa kalau ada acara di event Youth Program yang berhubungan dengan penulisan script film dan penulisan cerita. Sekedar informasi, festival ini memang mengharuskan untuk membeli tiket masuk untuk beberapa program, yaitu : main program, special event, workshop dan the kitchen. Tapi disamping itu ada juga sekitar 50 lebih program yang bisa diikuti secara gratis, yaitu : film program, arts program, art exhibitions, youth program, children program, book launches serta ada event di tempat lain selain di ubud yang disebut finger event serta satellite events. Tenang. Saya tidak sedang promosi kok. Saya berusaha obyektif karena datang sebagai peserta dengan biaya sendiri. Tapi untuk pendapat pribadi tentang festival ini akan saya ceritakan pada kesempatan yang lain.
Sore hari setelah mandi, saya kembali ke tempat acara untuk mengikuti ‘Rebel with a cause‘ yang menghadirkan Seno Gumira Ajidarma sebagai panelis utama. Diskusi diawali dengan moderator membacakan kalimat “when journalism can’t tell the fact, literature can tell the truth“. Seno bercerita tentang berita-beritanya yang ditolak untuk dimuat karena terlalu berbahaya di masa orba. Lalu dia sengaja menyembunyikan pesan-pesan dan kode-kode rahasia dalam cerpen-cerpen yang sebenarnya itu adalah fakta. Seno berpendapat bahwa ketika zaman sudah berubah dan jurnalisme tidak lagi dibungkam, maka perlawanan terhadap rezim yang berkuasa melalui karya sastra dapat berganti topik misalnya dengan topik ketidakadilan hukum dan korupsi. Karena sekalipun rezim orba tidak lagi ada, sisa-sisa didikan selama 32 tahun tanpa disadari telah membentuk karakter bangsa yang hanya tahu menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan KKN. Seno bercerita bahwa banyak orang menyangka dia katolik hanya karena cerpen-cerpennya berlatar belakang kehidupan di timor-timur. Padahal, ini tidak ada hubungannya dengan permasalahan agama karena Seno berusaha menceritakan tentang hal yang lebih penting : hilangnya kemanusiaan. Sungguh sore yang menenangkan bersama Seno.
Setelah acara Seno selesai, saya bergegas mencari makan siang sekaligus makan malam. Pilihan saya jatuh pada warung (tapi harga restoran) di dekat hotel. Dengan hati-hati saya memesan menu nasi goreng vegetarian dan jahe hangat tanpa memperdulikan aturan appertizer, main course, dan dessert. Yang penting makan dengan harga yang terjangkau. Ketika nasi goreng tiba, saya makan dengan lahapnya. Baru ketika saya mencoba tahu tempe yang dibakar menyerupai sate, saya sadar ada bau-bau minyak yang tidak saya kenal. Saya memang agak pemilih dalam hal makanan karena makanan pokok saya cuma dua menu : nasi goreng dan lalapan sambal. Jadi ketika saya membaui minyak yang asumsi saya bercampur dengan minyak babi, seketika saya mual dan hampir muntah di depan pengunjung. Saya menahan diri. Meminum jahe hangat hingga habis dan segera membayar di kasir. Aduh, ternyata saya naif sekali ya. Betapa ya kekuatan ‘persepsi’ itu sekalipun kita tidak tahu kebenarannya telah memaksa tubuh saya untuk menolak makanan (seperti cerita febry tentang cerpen yang intinya sama). Dan betapa sekalipun saya telah membaca banyak buku-yang beberapa mengarah ke liberal-, ternyata alam bawah sadar saya masih sangat santri alias (meminjam istilah Greg Barton) islam tradisional.
uw12Uang seratus ribu telah dibayar. Untuk mengobati kekecewaan akan makan sore yang gagal. Saya mengingkuti agenda selanjutnya di halaman Museum Antonio Blanco : Nonton bareng Film Non Narasi ‘Epic Java’ yang dilanjutkan dengan pertunjukan tari daerah dan musik bertema “17.000 Islands of Imagination”. Rasanya adem. Lesehan di atas rumput. Berada di bawah langit tanpa atap. Ditemani musik keroncong menyanyikan lagu-lagu daerah yang terakhir kali saya dengarkan sewaktu saya bersekolah di SD.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *