Ubud, Sekali Lagi. Selagi Kembali. (Part 4)

ubud-writers-and-readers-festival-13
: catatan hari keempat
Tiga hari telah terlewati. Hari minggu adalah hari terakhir Ubud Writers and Readers Festival. Agenda utama saya hanya mengikuti dua sesi : ‘Menonton Filmnya Indonesia’ dan ‘Eka, One to Watch’ pada siang hari. Pagi harinya saya gunakan untuk menyewa mobil ke kuta bersama Ratih dan Tenny hanya untuk pergi ke toko oleh-oleh. Maklum, ubud terkenal mahal untuk urusan oleh-oleh. Sebenarnya ada pasar sukowati yang lebih dekat daripada harus ke toko oleh-oleh di kuta atau di denpasar. Tapi diantara kami bertiga tidak ada yang pandai melakukan tawar menawar.

Ngomong-ngomong masalah oleh-oleh. Di Indonesia, barangkali tradisi membawa oleh-oleh setelah bepergian menjadi semacam kewajiban tidak tertulis. Padahal, anggaran untuk membeli oleh-oleh bisa mencapai seperempat anggaran perjalanan. Bahkan dalam konteks oleh-oleh haji, seorang dosen di kantor pernah bercerita bahwa oleh-oleh sepulang haji bisa mencapai setengah dari ongkos haji itu sendiri. Tergantung dari kedudukan sosial orang tersebut di masyarakat.
Oleh-oleh memang menjadi semacam kewajiban karena orang-orang yang bepergian dianggap memiliki uang lebih. Padahal tidak selamanya demikian karena traveling saat ini bisa dilakukan siapa saja. Banyak bertebaran buku panduan traveling yang menawarkan panduan bepergian ke negara-negara di seluruh dunia dengan budget yang terbatas. Bahkan ada grup-grup di media sosial yang berbagi informasi dan tips untuk melakukan traveling. Tapi karena ‘kewajiban sosial’ itu, pada akhirnya memunculkan peluang adanya toko oleh-oleh.
Dari berita yang pernah saya baca, di jakarta ada toko yang khusus menjual pernak pernik dari berbagai negara dengan harga grosir. Mulai dari kaos bertuliskan nama negara, pernah pernik kecil seperti gantungan kunci terkenal dari paris, miniatur telephone box, dan lain lain yang dibuat semirip mungkin dengan yang ada di luar negeri. Bahkan ada layanan untuk mengantar barang ke bandara sehingga seolah-olah barang tersebut benar-benar dibeli di luar negeri. Bagi saya pribadi, membeli oleh-oleh menjadi semacam bentuk ekspresi bahwa kita masih mengingat orang-orang yang kita sayang. Tapi saya tidak mencoba untuk menjadikan itu sebagai kewajiban. Jadi ketika anggaran saya mepet, saya katakan dengan terus terang bahwa saya tidak bisa memberikan mereka oleh-oleh.
Lah, kok jadi ngomongin oleh-oleh?. Baiklah kita lanjutkan cerita festival. Pulang dari toko oleh-oleh, secara tidak sengaja kami melewati warung spesial sambal (ss) yang cukup terkenal di malang dan daerah lainnya. Serasa bertemu mata air di tengah padang pasir dan kami makan lahap dengan memesan 6 macam sambal. Ini makan terenak saya setelah tiga hari terlunta-lunta dalam ketidakpastian (halah).
Kami tiba di ubud jam 2 siang. Saya terlambat mengikuti sesi ‘Menonton Filmnya Indonesia’ dan memutuskan untuk menunggu sesi ‘Eka, One To Watch’. Di tempat acara sudah hadir Eka Kurniawan bersama istri dan anaknya. Saya ingin mendekati mereka untuk meminta foto bersama. Tapi saya tidak memiliki kepercayaan diri. Lagipula Mas Eka sedang dikelilingi oleh banyak orang. Wartawan, penerbit, pembaca bukunya dari luar negeri dan lainnya. Siapalah Ria. Akhirnya saya mendekat ke tempat acara dan mencari tempat duduk di deret depan sambil menunggu acara dimulai.
Eka menceritakan bahwa masa remajanya diisi dengan membaca buku kopingho dan buku Abdullah Harahap. Kegemaran membaca sempat membuat Eka tidak naik kelas saat SMA karena lebih memilih membaca buku daripada masuk kelas. Setelah ibunya menangis dan memintanya untuk kembali masuk sekolah, Eka akhirnya luluh dan mau masuk sekolah asalkan dia pindah ke sekolah lainnya. Eka pindah dari salah satu sekolah terbaik di kotanya ke ‘sekolah yang gurunya tidak akan memarahi jika Eka sering tidak masuk sekolah’.
Selepas SMA, Eka bertekad untuk pindah dari kota kecilnya ke Jogja. Bagi Eka, jogja adalah tempat ideal karena disana adalah kota pelajar. Banyak bahan bacaan yang bisa diakses diperpustakaan. Akhirnya Eka menempuh kuliah filsafat di UGM karena dengan menjadi mahasiswa, Eka mendapat alasan untuk tetap mendapat jatah bulanan untuk menghidupi dirinya.
Ketika kuliah selesai, Eka sempat pindah dan bekerja di jakarta. Eka juga menulis novel pertamanya ‘Cantik itu Luka’ dan memberikannya kepada penerbit-penerbit yang semuanya menolak naskahnya. Ada yang beralasan bahwa novelnya ‘too literary’ alias ‘terlalu nyastra’. Ada yang memberi komentar bahwa novelnya ini ‘gak jelas’ jenisnya karena tidak bisa diklasifikasikan apakah ini surealis atau realis. Eka pindah dari jakarta dan kembali ke jogja setelah mendapat tawaran untuk bergabung dengan teman-temannya di Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) yang memfokuskan diri untuk memfasilitasi penulis-penulis muda. Seingat saya, Puthut Ea juga tergabung di AKY. Duh, sekali lagi, dunia sastra sempit sekali ternyata. Mereka berdua setahu saya juga sama-sama kuliah di filsafat UGM. Novel Cantik Itu Luka akhirnya diterbitkan oleh AKY sebanyak 2.000 eksemplar setelah kemudian nama Eka menjadi agak dikenal kalangan sastrawan karena banyak komentar pro dan kontra.
Beberapa tahun kemudian setelah Cantik Itu Luka diterbitkan ulang oleh salah satu penerbit besar di Indonesia, Eka mendapat email dari salah satu penerbit di jepang yang meminta ijin untuk menerbitkan novel itu. Eka bertanya siapa yang mau menerjemahkan ke dalam bahasa jepang. Mereka menjawab, ada seorang ibu rumah tangga di semarang yang telah menerjemahkan novel itu secara sukarela dan menawarkan kepada penerbit jepang tersebut.
Beberapa tahun kemudian, ada seorang mahasiswa doktoral dari amerika yang melakukan penelitian di indonesia dan meminta ijin kepada Eka untuk menerjemahkan novel itu ke dalam bahasa inggris. Eka mengijinkan. Hanya menegaskan bahwa Eka tidak punya uang jika harus membayar mahasiswa tersebut untuk menerjemahan novel itu karena mereka belum menemukan penerbit yang bersedia menerbitkannya. Eka juga mensyaratkan bahwa ketika mahasiswa tersebut meminta ijin untuk menerjemahkan novel itu, maka dia harus berjanji untuk menerjemahkan novel itu sampai selesai. Dan mereka bersepakat.
Saya sempat mengobrol dengan seorang laki-laki yang duduk di sebelah saya sebelum sesi tentang Eka Kurniawan berlangsung. Dia berkata bahwa dia sangat menyukai novel Beauty is A Weapon. Dua novel Eka telah diterjemahkan dalam bahasa inggris dan satu novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa jerman. Begitulah takdir terus berjalan pelan-pelan hingga akhirnya novel ini menemukan jalannya sendiri.
Closing Night Party
Hari minggu malam, ada acara penutupan yang diisi dengan pertunjukan tari pembacaan puisi, dan pertunjukan musik. Halaman museum Antonio Blanco menjadi panggung reggae dan penonton melantai sambil tertawa penuh sukacita. Tapi mata saya terlalu mengantuk untuk menyaksikan pesta ini sampai selesai. Saya kembali ke hotel dan mengemas barang untuk persiapan pulang esok harinya. Selesai juga festival ini. Saya mulai menemukan dimana tempat seperempat hati saya yang telah tersesat di ubud.

You may also like

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *